Situasi akhir zaman ditandai dengan peperangan yang memanfaatkan perkembangan teknologi terkini dimana memiliki daya rusak makin tinggi, kelaparan dan gempa bumi yang makin intensif sehingga ada melonjaknya kaum pengungsi akibat perang dan bencana alam. Siapakah pengungsi itu? Wikipedia menjelaskan Pengungsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan suatu wilayah guna menghindari suatu bencana atau musibah. Bencana ini dapat berbentuk banjir, tanah longsor, tsunami, kebakaran, dan lain sebagainya yang diakibatkan oleh alam. Dapat pula bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia secara langsung. Misalnya perang, kebocoran nuklir, dan ledakan bom. Pengungsi perang menurut penulis sesuatu yang mencolok.
Tempo.co memuat data bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis jumlah terbaru pengungsi di seluruh dunia yang telah mencapai rekor tertinggi. Laporan itu menyebutkan 65,3 juta orang telah meninggalkan rumah mereka pada akhir 2015. "Ini pertama kalinya lebih dari 60 juta orang telah mengungsi," kata Badan Pengungsi PBB, UNHCR, pada Senin, 20 Juni 2016, tepat di Hari Pengungsi Dunia. Jumlah pengungsi global naik 5,8 juta sampai 2015. Satu dari setiap 113 orang di planet saat ini adalah pengungsi. Lembaga yang berbasis di Jenewa itu mendesak para pemimpin Eropa dan tempat lain mengakhiri perang yang menjadi alasan utama eksodus manusia dari tanah air mereka.
"Kita perlu tindakan, tindakan politik, untuk menghentikan konflik," kata Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi. UNHCR mengatakan rata-rata 24 orang mengungsi setiap menit setiap hari sejak tahun lalu—atau 34 ribu orang per hari—atau naik dari enam orang untuk setiap menit pada 2005. Pengungsian global meningkat kira-kira dua kali lipat sejak 1997 dan meningkat 50 persen sejak 2011 ketika perang Suriah dimulai.
Ferizal Ramli membedakan menjadi 3 katagori dalam menangani pengungsi, yaitu:
- Jika Program itu awalnya membantu lebih dulu, dimana si yang dibantu menjadi naik derajat dan martabatnya, lalu kemudian si terbantu tersebut didesain untuk memberikan kontribusi balik atas keberhasilannya, maka inilah tujuannya membantu dengan prinsip “GIVE anda TAKE”.
- Jika Program itu dari awalnya malah langsung membebani si yang dibantu, mereka harus berkorban dan bahkan malah membayar untuk mendapatkan bantuan maka ini namanya bisnis.
- Jika Program itu untuk membantu tanpa peduli apakah yang dibantu akan melakukan balas jasa atau tidak maka ini namanya sedekah.
Dalam mindset manajemen pengungsi di Jerman mengkombinasikan Idialisme Sosialis dan Profisionalitas Kapitalis, kira-kira begini rantai berpikirnya:
- Saat tahap Motivasi adalah SOSIALIS tujuannya untuk kepentingan bersama
- Saat tahap bekerja itu KAPITALIS yaitu bisa mengoptimalkan semua resources untuk dapat gain
- Saat tahap kompensasi itu KAPITALIS setiap orang dibayar sesuai dengan kontribusinya
- Saat tahap menikmati hasil keuntungannya itu SOSIALIS dimana keuntungan tidak semua untuk individu yang terlibat semata tapi harus diinvestasikan untuk program Sosial yang baru.
DW.COM melaporkan Di Jerman tidak seorang pengungsi harus tidur di jalan. Kebanyakan kini berada dalam kondisi yang jauh lebih baik. Kesediaan penduduk menampung pengungsi bisa dicatat sebagai sebuah pencapaian moral. Tapi tantangan sebenarnya masih ada di depan mata. Masyarakat Jerman misalnya harus menggenjot program integrasi agar bisa membuka kesempatan belajar buat anak-anak dan pekerjaan buat orang dewasa. Semua itu akan menyedot anggaran dan memicu kecemburuan sosial yang bisa mengganggu ketenangan. Di sisi lain Krisis pengungsi memaksa penduduk Jerman menghadapi tantangan baru. Tapi ia juga menciptakan peluang. Jika Jerman berhasil membangun perasaan kuat pada pengungsi, bahwa mereka kini telah diterima sepenuhnya, maka hal tersebut akan berdampak positif pada masyarakat. Uang yang mereka kirim ke negeri asalnya saja jauh melebihi bantuan pembangunan yang bisa dibayarkan pemerintah Jerman.
Arus pengungsi yang meningkat sehingga setiap tahun di atas 60 juta jiwa pindah tempat tinggal adalah gambaran dunia yang alami serangkaian perang, teror, dan kekacauan politik global tetapi itu adalah gambaran nyata dari kedatangan Yesus yang ke dua semakin dekat. Manusia dengan sistem yang dibangun berusaha menolong sesamanya masih tetap ada di tengah memudarkan rasa kasih terhadap sesama.
Arus pengungsi dari negara konflik menimbulkan keguncangan budaya (Culture Shock) mendorong lahirnya perubahan-perubahan sosial bagi penerima pengungsi maupun pengungsi. Kaum pengungsi tidaklah membaca buku panduan tentang negara tujuan, bertanya kepada orang yang pernah tinggal di sana, browsing di internet, dan yang paling penting jangan membayangkan kehidupan di sana seperti yang selalu kita tonton di film atau televisi atau terlebih-lebih memaksakan nilai budaya ke tempat tujuan.
Manajemen pengungsi terutama korban perang, teror, konflik akan terus berkembang seiring dengan makin meningkatnya arus pengungsi dan bayang-bayang perang dunia ke-3 yang diduga berlangsung singkat tetapi lebih menghancurkan sebab teknologi persenjataan pemusnah masal makin berkembang sampai hadirnya kerajaan damai seribu tahun sesuai dengan harapan Eskatologi Kristen.