Amsal ini memberikan masukan yang berharga dalam kehidupan manusia saat ini yang diwarnai budaya yang ingin serba instan dimana orang-orang yang hidup didalamnya mengutamakan kecepatan, lebih suka melihat hasil dan cenderung kurang menghargai proses atau bahkan tidak ingin menjalani proses itu sendiri.
Budaya instan misalnya ingin cepat menjadi kaya tanpa proses perjuangan yang berat, ingin cepat menghasilkan untung tanpa perlu pusing proses produksi, ingin cepat menduduki jabatan tinggi tanpa perlu meniti karir, dan masih banyak lagi keinginan cepat menjadi sesuatu tanpa proses, yang biasanya sebuah proses adalah sebuah perjuangan yang berliku, berat dan terkadang perlu pengorbanan yang tidak sedikit.
Salah satu akibat negatif dari ingin hasilkan yang besar tanpa melalui proses lahirlah aneka invertasi bondong dan Otoritas Jasa Keuangan tertanggal 21 Juli 2017 membekukan 11 entitas menyusul sejumlah pembekuan yang telah dibekukan sebelumnya. Investor yang berharap mendapatkan keuntungan akhirnya alami kerugian dan atau masalah finansial.
Budaya instan yang benar dapat lahir bila kita memiliki pengetahuan dalam melakukan sesuatu dengan rajin sehingga pekerja menjadi efektif yang memberi nilai tambah sehingga meningkatkan produktivitas dalam melakukan suatu pekerjaan
sehingga budaya instan yang didukung pengetahuan dan kerajinan adalah positif.
Meningkatnya produktivitas maka terjadi efisien waktu yang dibutuhkan dalam suatu proses kegiatan dan semakin praktis karena tidak memerlukan banyak energi dan atau sumber daya. Contoh sederhana masak mie instan cepat mempercepat penyajian makanan.
Pengetahuan dalam bekerja memicu munculnya percepatan teknologi yang dapat memunculkan lapangan pekerjaan baru, kebutuhan baru meskipun dapat membuat sejumlah produk budaya dapat tersisih. Masyarakat akan semakin ingin cepat dan waktu semakin berharga sebab memunculkan persaingan dalam meningkatkan produktivitas. Dunia Yang Dahulu Serba Sulit, Berubah Menjadi Serba Mudah karena berkembangnya pengetahuan dalam bekerja.
TELEXINDO BIZMART mungutip Pendapat Risman Hery, S.Psi,. seorang ahli psikologi, yang menyatakan bahwa budaya kemudahan yang mengelilingi kita hari ini dapat membentuk suatu watak yang tidak memiliki daya juang dikarenakan segalanya serba instan. Yang sangat mengkhawatirkan bahwa situasi ini sangat mempengaruhi para generasi muda yang terhitung cukup banyak mengkomsusmsi layanan teknologi instan. Ironisnya lagi, lanjut Risman, kemudahan-kemudahan tersebut terkadang tidak disesuikan dengan kontrol yang proporsional, baik kontrol diri maupun kontrol sosial. Jika dibiarkan ini akan membeku menjadi suatu karakter diri yang akan berprilaku instan pula pada kehidupan sosial. Pendapat Risman Hery tentu tidak sesuai dengan semangat penulis Amsal bahwa kemudahan karena adanya perkembangan pengetahuan seharusnya tetap diiringi dengan kerajinan sehingga terjadi lompatan produktivitas.
Penulis Amsal memperhatikan juga faktor kerajinan sehingga berarti kemudahan tidaklah boleh melupakan proses dalam pencapaian suatu hasil. Melupakan proses karena tergesa-gesa dapat menyebabkan salah langkah yang memiliki konotasi lainnya kekeliruan, kesalahan dan dosa terlebih lebih jika pencapaian tanpa proses itu dilakukan dengan sengaja dan sistematis.
Pengetahuan berkembang juga akan menyebabkan penguna produk hasil teknologi tersebut dapat berkurang bahkan membunuh kreatifitas sebab semuanya sudah tersusun dalam sistem dan prosedur baku dalam mengoperasionalkan teknologi tersebut ...... sekalipun segala sesuatu dapat semakin cepat dan praktis. disamping disebabkan keengganan menjalani proses.
Contoh:
Berbagai produk instan yang siap saji, siap pakai membuat banyak orang yang tidak mengetahui teknik dan cara pengolahan serta enggan berkreatifitas dengan berbagai bahan dasar pembuat produk tersebut.
Budaya instan juga melahirkan konsep berpikir "Kalau orang lain bisa, mengapa saya tidak bisa? Kalau orang lain bisa mencapainya dalam 3 jam, mengapa saya harus 3 hari?", lantas membuat orang mengejar terus untuk dapat mencapai apa yang bisa dicapai oleh orang lain (yang tidak ada habisnya). Frustrasi gampang menghinggapi dan menghalalkan segala cara bisa menjadi pilihan terdekat dan di sisi lain mengakibatkan semakin meningkatnya keterbukaan informasi dan nyaris tak terbatasnya bahan tontonan di sekitar kita. Dengan adanya media jejaring sosial (facebook, twitter, dsb), orang dengan mudah melakukan perbandingan antara dirinya dengan orang lain.
Jika mengikuti penjelasan teori psikologi evolusioner: nenek moyang manusia tidak memiliki alasan yang kuat untuk memiliki tujuan hidup jangka panjang. Hal ini karena yang terpenting bagi mereka pada saat itu adalah survival (bertahan hidup) "pada hari ini" di tengah-tengah buasnya alam. Menurut psikologi evolusioner, penekanan pada masa kini pada nenek moyang kita itu mewariskan "program pikiran" serupa pada generasi-generasi berikutnya, termasuk generasi kita. Pengutamaan tujuan jangka pendek menjadi fokus pikiran. Penyelesaian secara instant membuat hidup semakin terfokus menyelesaikan masalah saat ini dan mendorong melupakan hidup jangka panjang.
Tergesa-gesa sebagai warna budaya instan membuat nilai-nilai religius yang mengajarkan kesabaran dan pengendalikan diri serta adanya Tuhan terlupakan. Bukankah akan lebih baik jika melibatkan Tuhan dan nilai nilai kesabaran dan pengendalian diri dalam melakukan proses pencapaian suatu usaha? Tuhan terlupakan dan bukan menjadi pusat kehidupan.
dalam budaya instan yang cenderung tergesa-gesa terdapat asumsi bahwa kita dapat dengan instan mencapai apapun yang kita kehendaki. Padahal kenyataannya adalah tidak semua yang kita kehendaki dapat kita capai, apalagi dengan mudah dan cepat sehingga kesehatan jiwa dapat memburuk disamping berkembangnya irasionalitas dan mistisisme. Oleh karena ingin serba cepat, orang ingin segala sesuatu seperti sulap magis, seperti "kantong Doraemon".
MEDIA KAWASAN Edisi April 2014 menyatakan hal mendasar yang patut diwaspadai adalah kehilangan diri, kehilangan makna hidup sebagai pribadi dan makna hidup bermasyarakat, karena tenggelam dalam arus instanisme. Dengan larut dalam budaya instan, lama-kelamaan kita tidak mengenal lagi: Siapa diriku sebenarnya? Mengapa gaya hidupku kini seperti ini? Mengapa kini aku jauh dari orang-orang yang sebelumnya dekat denganku? Apa sebenarnya yang aku tuju di dunia ini? Budaya instan tidak bisa diredam karena merupakan konsekuensi logis dari kemajuan peradaban.
Nasehat Salomo dalam hidup dalam budaya instan masih berlaku bahwa kita harus memiliki pengetahuan dan kerajinan serta tidak tergesa-gesa melainkan efektif dalam bertindak agar tidak salah langkah atau kekeliruan atau kesalahan atau dosa. Nasehat lainnya antara lain:
- Amsal 21:5. Rancangan orang rajin semata-mata mendatangkan kelimpahan, tetapi setiap orang yang tergesa-gesa hanya akan mengalami kekurangan.
- Amsal 28:22. Orang yang kikir tergesa-gesa mengejar harta, dan tidak mengetahui bahwa ia akan mengalami kekurangan.
Kita hidup dalam budaya instan namun itu harus kita harus meminimalkan tekanan yang menyebabkan kita menjadi tergesa-gesa melainkan seharusnya meningkatkan pengetahuan agar lebih efektif dalam melakukan suatu perbuatan serta bersabar saat menikmati proses yang harus dilalui dengan melibatkan Tuhan melalui doa dan bekerja.