-->

Notification

×

Sebab Tuhan adalah Roh; dan dimana ada Roh Allah, disitu ada kemerdekaan 2 Korintus 3:17

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Hukum

Sabtu, 27 April 2024 | April 27, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-04-27T06:22:00Z
Indonesia memiliki Undang-Undang tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah tangga (UU PKDRT) berdasarkan hukum yaitu Undang Undang Nomor 23 tahun 2004. Berdasarkan undang-undang, "Kekerasan Dalam Rumah Tangga" diartikan sebagai "Setiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum." (Pasal 1 ayat 1)

Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam UU PKDRT adalah:
  • Kekerasan Fisik: Meliputi tindakan yang menimbulkan luka, memar, atau rasa sakit fisik, seperti pemukulan, penyiksaan, penganiayaan, dan pelemparan benda.
  • Kekerasan Psikis: Meliputi tindakan yang bertujuan untuk menjatuhkan harga diri, martabat, dan membuat korban merasa tertekan, terancam, dan tidak berdaya, seperti penghinaan, makian, caci maki, intimidasi, dan ancaman.
  • Kekerasan Seksual: Meliputi tindakan yang bertujuan untuk memaksa korban melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan, seperti perzinahan, perkosaan, pelecehan seksual, dan pencabulan.
  • Penelantaran Rumah Tangga: Meliputi tindakan yang menyebabkan korban tidak mendapatkan kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan.
Berdasarkan undang undang kekerasan dalam rumah tangga yang dianggap kekerasan itu dapat terjadi terhadap:
  • Istri, suami, dan anak-anak: Ini adalah bentuk KDRT yang paling umum dikenal.
  • Orang yang memiliki hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga: Ini termasuk orang tua, mertua, menantu, kakek-nenek, cucu, saudara kandung, dan saudara tiri.
  • Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut: Ini termasuk pembantu rumah tangga, babysitter, dan penjaga lansia.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pada tahun 2004 menjadi tonggak penting dalam upaya pencegahan dan penanganan KDRT di Indonesia dengan segala dampaknya:
  1. Dampak Positif:
    * Peningkatan Kesadaran dan Pelaporan: UU PKDRT meningkatkan kesadaran masyarakat tentang KDRT dan mendorong korban untuk berani melapor. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan ke pihak berwenang dan organisasi pendamping korban.
    * Perlindungan Korban: UU PKDRT memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi korban KDRT dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Korban berhak mendapatkan akses terhadap layanan seperti pendampingan, konseling, rehabilitasi, dan tempat penampungan.
    * Penjeraan Pelaku: UU PKDRT mengatur sanksi pidana bagi pelaku KDRT, sehingga memberikan efek jera dan mencegah mereka untuk melakukan kekerasan di masa depan.
    * Peningkatan Akses Terhadap Keadilan: Korban KDRT memiliki akses yang lebih mudah untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum.
  2. Dampak Negatif:
    * Stigma dan Ketakutan: Dalam beberapa kasus, korban KDRT masih dihadapkan dengan stigma dan ketakutan untuk melapor karena khawatir dengan aib keluarga atau ancaman dari pelaku.
    * Kurangnya Implementasi: Implementasi UU PKDRT di lapangan masih belum merata dan optimal. Hal ini dikarenakan berbagai faktor seperti kurangnya sumber daya, pengetahuan, dan koordinasi antar instansi terkait.
    * Peningkatan Perceraian: Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa setelah disahkannya UU PKDRT, angka perceraian di beberapa daerah mengalami peningkatan. Hal ini diinterpretasikan sebagai salah satu dampak positif dari UU PKDRT, karena korban yang sebelumnya terjebak dalam siklus kekerasan merasa lebih berani untuk keluar dari pernikahan yang tidak sehat.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum memiliki hubungan dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). KDRT melanggar berbagai hak fundamental individu, seperti:
  • Hak atas Kehidupan dan Keamanan: KDRT dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan korban, bahkan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kematian.
  • Hak atas Kebebasan dari Penyiksaan dan Kekejaman: KDRT sering kali melibatkan tindakan penyiksaan dan kekejaman fisik, psikis, dan seksual yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat korban.
  • Hak atas Integritas Tubuh dan Kebebasan Seksual: KDRT dapat melibatkan kekerasan fisik dan seksual yang melanggar hak korban atas integritas tubuh dan kebebasan seksualnya.
  • Hak atas Kesetaraan dan Keadilan: KDRT didasarkan pada ketidaksetaraan gender dan budaya patriarki yang melanggar hak korban atas kesetaraan dan keadilan.
  • Hak atas Privasi dan Kehidupan Keluarga: KDRT terjadi dalam ranah privat dan dapat mengganggu privasi serta kehidupan keluarga korban.
  • Dampak Negatif kekerasan dalam rumah tangga terhadap hak asasi manusia, seperti:
    • KDRT dapat menyebabkan trauma fisik dan psikis jangka panjang bagi korban, termasuk depresi, kecemasan, dan post-traumatic stress disorder (PTSD).
    • KDRT dapat berdampak negatif pada kesehatan reproduksi dan seksual korban.
    • KDRT dapat menghambat perkembangan anak-anak yang menjadi saksi atau korban KDRT.
    • KDRT dapat memperburuk kemiskinan dan ketergantungan ekonomi korban.
    • KDRT dapat menciptakan budaya kekerasan dan ketidakadilan dalam masyarakat.
    Selain tinjauan kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum negara, ada juga tinjauan menurut pengajaran agama sehingga pelanggaran hak asasi manusia dalam cakupan kekerasan dalam rumah tangga dikaitkan dengan TUHAN yang menghasilkan pandangan yang berbeda-beda tergantung keyakinan agama, budaya, dan interpretasi pribadi. Sejumlah pandangan tersebut diantaranya:
    1. Perspektif Agama:
      * Agama-agama besar di dunia secara umumnya mengajarkan nilai-nilai cinta kasih, kasih sayang, perdamaian, dan penghargaan terhadap sesama sehingga melarang segala bentuk kekerasan, termasuk KDRT dan menekankan pentingnya menjaga keutuhan keluarga dan melindungi hak-hak individu.
      * Beberapa interpretasi agama mungkin digunakan untuk membenarkan KDRT, biasanya dengan alasan patriarki, kontrol atas perempuan, atau hukuman atas dosa.
    2. Perspektif Teologi:
      • Teologi pembebasan:
        * Menekankan pada upaya untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, termasuk KDRT.
        * Melihat KDRT sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang harus dilawan.
        * Mendorong aksi dan advokasi untuk melawan KDRT dan melindungi hak-hak korban.
      • Teologi feminis:
        * Menekankan pada kesetaraan gender dan keadilan bagi perempuan.
        * Melihat KDRT sebagai bentuk patriarki dan misogini yang harus dibongkar.
        * Mendorong rekonstruksi teologi dan praktik agama yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan.
      • Teologi Evangelis:
        • Padangan secara umum:
          * Kekerasan sebagai dosa: Kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk KDRT, dianggap sebagai dosa dan pelanggaran terhadap hukum Allah.
          * Peran suami sebagai kepala keluarga: Tradisi patriarki dalam beberapa interpretasi teologi evangelis menempatkan suami sebagai kepala keluarga dengan otoritas atas istri. Hal ini berpotensi disalahartikan sebagai pembenaran untuk kontrol dan kekerasan terhadap istri.
          * Penyerahan dan ketaatan istri: Tradisi patriarki juga menekankan ketaatan istri kepada suami. Hal ini berpotensi membuat istri rentan terhadap perlakuan kasar dan sulit untuk keluar dari situasi KDRT.
          * Pentingnya pengampunan dan rekonsiliasi: Dalam beberapa interpretasi, korban KDRT didorong untuk memaafkan pelaku dan berusaha untuk menyelamatkan pernikahannya. Hal ini dapat berbahaya bagi korban jika dilakukan tanpa jaminan keamanan dan proses pemulihan yang tepat.
        • Kritikan terhadap pandangan-pandangan tersebut:
          * Pandangan yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga dengan otoritas atas istri dan mendorong ketaatan istri dapat memperkuat struktur patriarki dan meminggirkan perempuan.
          * Menekankan pengampunan dan rekonsiliasi tanpa jaminan keamanan dan proses pemulihan yang tepat dapat membahayakan korban dan memaksanya untuk kembali ke situasi yang abusive.
          * Alkitab tidak pernah membenarkan kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk KDRT.
        • Pandangan progresif dalam teologi evangelis terhadap KDRT:
          * Kesetaraan gender: Menekankan kesetaraan gender dan menolak patriarki sebagai dasar hubungan dalam rumah tangga.
          * Perlindungan korban: Menekankan pentingnya melindungi korban KDRT dan membantu mereka keluar dari situasi yang abusive.
          * Pentingnya proses pemulihan: Mendukung proses pemulihan bagi korban KDRT, baik secara fisik, emosional, dan spiritual.
          * Menentang segala bentuk kekerasan: Menolak segala bentuk kekerasan, termasuk KDRT, sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah dan martabat manusia.
    3. Perspektif Moral:
      * Prinsip-prinsip moral universal menyatakan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup bebas dari kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi. KDRT merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak moral ini dan setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk melawan KDRT dan melindungi korban.
      * Pemuka agama dan pemimpin spiritual memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan nilai-nilai anti-kekerasan dan mempromosikan kesetaraan gender. Mereka harus menentang segala bentuk KDRT dan mendukung upaya untuk melindungi korban.
      * Tuhan tidak pernah menyetujui KDRT. KDRT merupakan pelanggaran HAM dan harus dilawan dengan segala cara.semua pihak, termasuk individu, komunitas, dan pemimpin agama, harus bekerja sama untuk mencegah KDRT dan membangun masyarakat yang lebih adil dan damai.

    Pencegahan dan Penanganan KDRT secara hukum diantaranya:
    • Pencegahan KDRT harus dilakukan melalui edukasi dan sosialisasi tentang kesetaraan gender, hubungan yang sehat, dan anti-kekerasan.
    • Penanganan KDRT harus komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, seperti aparat penegak hukum, lembaga perlindungan anak dan perempuan, organisasi masyarakat sipil, dan tenaga kesehatan.
    • Korban KDRT harus mendapatkan akses terhadap layanan perlindungan, seperti konseling, rehabilitasi, dan tempat penampungan.
    • Pelaku KDRT harus dihukum seadil-adilnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Menurut hukum maka negara memiliki peran yang penting dalam menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu berarti:
    • Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan menghormati HAM seluruh warganya, termasuk korban KDRT.
    • Negara harus membuat dan menerapkan kebijakan yang efektif untuk mencegah dan menangani KDRT.
    • Negara harus memastikan akses terhadap keadilan bagi korban KDRT.
    • Masyarakat harus bahu membahu dalam memerangi KDRT dan membangun budaya yang menghargai HAM (hak asasi manusia) dan kesetaraan gender.
    Jika Anda atau bertemu dengan orang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga maka memiliki hak untuk:
    • Ajukan laporan polisi: Anda dapat melaporkan KDRT ke polisi dan meminta perlindungan mereka.
    • Cari pertolongan medis: Jika Anda terluka secara fisik, Anda harus segera mencari pertolongan medis.
    • Dapatkan bantuan hukum: Anda dapat menghubungi pengacara atau organisasi bantuan hukum untuk mendapatkan bantuan dalam kasus Anda.
    • Carilah konseling atau terapi: Konseling atau terapi dapat membantu Anda mengatasi trauma KDRT dan membangun kembali kehidupan Anda.
    Menurut Data SIMFONI PPA KemenPPPA maka per Januari 2024, terdapat 6.417 kasus KDRT yang dilaporkan dengan rincian kekerasan fisik (74%), diikuti kekerasan psikis (22%), kekerasan seksual (12%), dan kekerasan ekonomi (2%). Sedangkan data dari WHO mencatat 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya dan setiap tahun, sekitar 200 juta perempuan dan anak perempuan berusia 15-49 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual dari pasangan mereka. Dari data statistik menunjukkan kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang serius untuk ditangani bersama sehingga melibatkan aspek hukum.



    Tulisan lainnya:
    Mengatasi Kekerasan
    Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
    Hak Asasi Manusia Berkelanjutan
    Kesetaraan Gender Suatu Impian
    Pimpinan Yang Menindas
    Istri Sebagai Bejana Lebih Lemah


  • ×
    Berita Terbaru Update