Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Matius 11:28
Pada tahun 2021 di blog memuat tulisan letih lesu dan empati Yesus, yang memuat pernyataan dari Jeniffer Schrack bahwa salah satu penyebab seseorang mengalami "letih lesu" disebabkan masalah kesehatan mental. Misalnya, kelelahan dari gejala umum seperti kecemasan, depresi, dan gangguan afektif musiman. Yesus mengundang semua orang untuk datang kepada-Nya. Ayo kemarilah sekarang "δεῦτε" yang dikenal sebagai bentuk perintah yang digunakan untuk mengundang atau memerintahkan seseorang untuk datang atau mendekat. Dalam konteks Perjanjian Baru, "deute" mencerminkan tradisi rabi yang memanggil para murid untuk mengikuti seorang guru. Ini adalah praktik umum dalam budaya Yahudi, di mana para rabi akan mengumpulkan para murid untuk memberikan hikmat dan instruksi. Yesus adalah sosok yang memanggil semua orang dan Dia pun sanggup menerima semua kalangan menjadi murid-Nya termasuk dari antara tunawisma yang alami masalah kejiwaan.
Dalam menjalani kehidupan terkadang ada beban yang hadir dalam hidup seseorang. Di dunia Yunani-Romawi, konsep beban dipahami dengan baik dalam arti harfiah dan metaforis. Beban fisik umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dengan para pekerja dan hewan yang sering kali bertugas membawa beban berat. Secara metaforis, beban dapat merujuk pada kewajiban sosial, hukum, atau agama. Dalam budaya Yahudi, orang Farisi dikenal karena memaksakan penafsiran hukum yang ketat, yang dianggap memberatkan orang banyak. Kata φορτίζω dalam ayat di atas menunjukkan ada hal-hal menyebabkan seseorang menjadi terbebani termasuk kalangan dari tunawisma yang diantaranya bersifat "kejiwaan" berdampak mengharuskan bekerja keras dengan susah payah (baik kerja fisik maupun mental) menyebabkan kelelahan atau "κοπιάω".Tunawisma seringkali menghadapi tantangan kompleks dalam persoalan gangguan mental atau kejiwaan baik secara eksternal (dari lingkungan sekitar) maupun internal (dari dalam diri sendiri). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tunawisma dalam membangun relasi alami permasalahan yang terkadang hadir dalam hidupnya seperti aporofobia (ketakutan atau kebencian terhadap orang miskin) sebagai tantangan eksternal, serta trauma, isolasi sosial, dan perasaan tidak berdaya sebagai tantangan internal dan hal ini dapat diperparah bila alami seperti skizofrenia atau bipolar.
Hal yang dapat terjadi dan menimbulkan masalah besar seorang tunawisma terkait kejiwaan seringkali berkaitan dengan trauma, isolasi sosial, dan perasaan tidak berdaya. Hidup di jalanan atau tanpa tempat tinggal yang tetap menimbulkan tekanan psikologis yang berat, yang dapat memperburuk kondisi mental seseorang. Masalah kejiwaan yang dapat dihadapi oleh tunawisma antara lain:
- Trauma akibat pengalaman hidup yang traumatis, seperti kekerasan fisik atau seksual, kehilangan rumah, atau bencana alam yang berdampak menyebabkan gangguan stres pascatrauma (PTSD), mimpi buruk, kecemasan berlebihan, dan kesulitan mengendalikan emosi. Contoh: Seorang tunawisma yang pernah mengalami kekerasan di jalanan mungkin terus merasa takut dan waspada berlebihan.
- Depresi akibat perasaan putus asa, kesepian, dan ketidakmampuan untuk mengubah situasi hidup yang berdampak kehilangan motivasi, kesulitan tidur, dan perasaan sedih yang berkepanjangan. Contoh: Seorang tunawisma mungkin merasa tidak ada harapan untuk memperbaiki hidupnya.
- Isolasi Sosial akibat stigma masyarakat, kurangnya dukungan sosial, dan keterasingan dari keluarga atau teman yang berdampak kesepian, perasaan terabaikan, dan kurangnya motivasi untuk berinteraksi dengan orang lain. Contoh: Seorang tunawisma mungkin menghindari kontak dengan orang lain karena merasa tidak diterima.
- Kecemasan (Anxiety) akibat ketidakpastian tentang masa depan, kekhawatiran tentang keamanan, dan tekanan untuk bertahan hidup yang berdampak serangan panik, sulit berkonsentrasi, dan perasaan gelisah yang terus-menerus. Contoh: Seorang tunawisma mungkin terus-menerus cemas tentang di mana akan tidur atau bagaimana mendapatkan makanan.
- Rasa Tidak Berdaya (Learned Helplessness) akibat pengalaman terus-menerus gagal atau merasa tidak memiliki kendali atas kehidupan yang berdampak pasrah pada keadaan dan tidak lagi berusaha untuk mengubah situasi. Contoh: Seorang tunawisma mungkin merasa bahwa apa pun yang dilakukan tidak akan mengubah keadaannya.
- Ketergantungan pada Zat Adiktif akibat upaya untuk melarikan diri dari tekanan hidup melalui alkohol, narkoba, atau rokok yang berdampak masalah kesehatan fisik, keuangan yang semakin buruk, dan hubungan sosial yang rusak. Contoh: Seorang tunawisma mungkin menggunakan narkoba untuk menghilangkan rasa sakit emosional sementara.
- Gangguan Identitas dan Harga Diri Rendah akibat stigma negatif dari masyarakat dan perasaan tidak berguna yang berdampak kehilangan rasa percaya diri dan kesulitan melihat diri sendiri secara positif. Contoh: Seorang tunawisma mungkin merasa dirinya tidak berharga karena diabaikan oleh masyarakat.
- Masalah Kesehatan Mental yang Sudah Ada akibat tunawisma sudah memiliki masalah kesehatan mental sebelum menjadi tunawisma, seperti skizofrenia atau gangguan bipolar, yang tidak mendapatkan perawatan yang memadai sehingga kondisi mental yang semakin memburuk tanpa akses ke layanan kesehatan. Contoh: Seorang tunawisma dengan skizofrenia mungkin kesulitan mengelola gejala tanpa obat atau terapi.
Masalah kejiwaan yang bersifat eksternal terjadi dikalangan orang miskin termasuk dan terutama terjadi di kalangan tunawisma adalah Aporofobia. Aporofobia adalah hasil perenungan dari filsup Spanyol yang bernama Adele Cortina sebab memiliki perbedaan dengan xenofobia yaitu lanjutnya dari permasalahan etnosentrisme sehingga terhadap siapa pun yang dianggap orang asing suatu hal yang membuat takut. Penyebab Aporofobia antara lain:
- Kemiskinan: Kemiskinan dapat menjadi penyebab utama aporofobia. Orang-orang yang hidup dalam kemiskinan seringkali dianggap sebagai beban masyarakat dan sumber masalah.
- Stereotip: Stereotip negatif tentang orang miskin dapat memperburuk aporofobia. Orang miskin seringkali dianggap malas, bodoh, dan tidak dapat dipercaya.
- Ketakutan: Ketakutan akan orang miskin juga dapat menjadi penyebab aporofobia. Orang-orang yang takut akan orang miskin mungkin percaya bahwa mereka akan mencuri, melakukan kekerasan, atau menularkan penyakit.
Dampak Aporofobia menghadirkan sesuatu yang sangat negatif bagi orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Mereka dapat mengalami diskriminasi, pengucilan, dan kekerasan seperti:
- Stigma dan Diskriminasi: Tunawisma sering dianggap sebagai "masalah sosial" atau dihubungkan dengan kejahatan, kemalasan, atau ketidakmampuan. Hal ini membuat mereka dijauhi atau diabaikan.
- Kurangnya Dukungan Sosial: Masyarakat enggan membantu tunawisma karena prasangka negatif, sehingga mereka kesulitan mendapatkan bantuan seperti makanan, tempat tinggal, atau layanan kesehatan, pendidikan.
- Kekerasan dan Eksploitasi: Tunawisma rentan menjadi korban kekerasan fisik, verbal, atau eksploitasi karena dianggap tidak memiliki perlindungan.
- Keterbatasan Akses ke Sumber Daya: Aporofobia dapat membuat tunawisma sulit mengakses bantuan pemerintah, pekerjaan, atau layanan publik karena stigma yang melekat.
Contoh Aporofobia yang acapkali terjadi seperti:
- Seorang tunawisma diusir dari tempat umum karena dianggap mengganggu ketertiban.
- Penolakan terhadap pembangunan rumah singgah di suatu wilayah karena kekhawatiran akan "menurunkan nilai properti".
- Berdiam di tempat kumuh atau jadi gelandangan adalah pilihan yang terpaksa harus dilakukan dan bila lokasi tersebut misalnya alami polusi air, udara, tanah, suara dan lainnya akan meningkatkan masalah yang harus dihadapi oleh tunawisma.
Masalah mental / kejiwaan yang dialami tunawisma secara internal dan eksternal membentuk relasi yang memperkuat tantangan yang dihadapi oleh para tunawisma sebab tantangan eksternal (aporofobia) dan internal (trauma, isolasi sosial, perasaan tidak berdaya) saling terkait dan memperburuk satu sama lain. Contoh:
- Aporofobia Memperparah Trauma dan Isolasi Sosial sebab stigma dan diskriminasi dari masyarakat dapat memperdalam perasaan terisolasi dan tidak berharga pada tunawisma terlebih bila ada pengalaman negatif seperti diusir atau dihina dapat menambah trauma yang sudah ada.
- Trauma dan Isolasi Sosial Memperkuat Aporofobia sehingga meningkatkan kesulitan untuk membaur kembali dengan masyarakat, sehingga memperkuat prasangka negatif terhadap mereka terlebih bila ada perilaku yang dianggap "aneh" atau "tidak biasa" akibat trauma dapat memicu ketakutan atau kebencian dari orang lain.
- Perasaan Tidak Berdaya Memperkuat Siklus Kemiskinan karena ketika tunawisma merasa tidak berdaya, mereka mungkin enggan mencari bantuan atau mencoba memperbaiki hidup, yang pada akhirnya memperkuat stigma dan aporofobia.
Aporofobia yang berdampak terhadap tunawisma suatu ketakutan atau keengganan terhadap kemiskinan dan orang miskin, adalah masalah global yang memengaruhi banyak negara di seluruh dunia namun di Amerika Latin mendapatkan sorotan ekstra karena sikap gereja yang menyorot masalah ini dengan perhatian ekstra sekalipun untuk mengatasi aporofobia membutuhkan upaya kolektif dari pemerintah, masyarakat, dan individu. Sikap gereja di Amerika Latin sangat menyolok terhadap masalah aporofobia, yaitu diantaranya:
- Penekanan pada Martabat Manusia: Gereja berulang kali menekankan bahwa setiap manusia, tanpa memandang status sosial atau ekonomi, memiliki martabat yang sama sebagai citra Allah. Aporofobia, dengan merendahkan dan mendiskriminasi orang miskin, melanggar martabat ini.
- Seruan untuk Keadilan Sosial: Gereja aktif menyerukan keadilan sosial dan ekonomi, yang merupakan akar dari banyak masalah kemiskinan dan ketidaksetaraan di Amerika Latin. Mereka mengkritik sistem ekonomi yang tidak adil dan menyerukan distribusi kekayaan yang lebih merata.
- Pilihan Preferensial bagi Orang Miskin: Gereja Katolik memiliki tradisi yang kuat dalam membela orang miskin dan tertindas. Pilihan preferensial bagi orang miskin ini tercermin dalam berbagai karya pastoral dan sosial Gereja di Amerika Latin, seperti membantu komunitas miskin, memberikan pendidikan, dan mendukung gerakan-gerakan akar rumput.
- Kritik terhadap Struktur yang Tidak Adil: Gereja tidak hanya mengkritik manifestasi aporofobia secara individual, tetapi juga menyoroti struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil yang melanggengkan kemiskinan dan diskriminasi. Mereka menyerukan perubahan sistemik untuk mengatasi akar masalah ini.
- Paus Fransiskus dan Aporofobia: Paus Fransiskus secara khusus menyoroti masalah aporofobia dalam berbagai kesempatan yang mencerminkan ciri dari pemimpin berasal Amerika Latin. Beliau sering berbicara tentang pentingnya membela orang miskin dan menentang budaya ketidakpedulian yang menyebabkan aporofobia. Beliau juga menekankan perlunya "perjumpaan" dengan orang miskin, bukan hanya melihat mereka dari jauh.
- Karya Pastoral dan Sosial: Gereja di Amerika Latin terlibat dalam berbagai karya pastoral dan sosial untuk membantu orang miskin dan mengatasi dampak aporofobia. Ini termasuk program-program bantuan kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat.
- Dukungan Kesehatan Mental seperti:
- Konseling dan Terapi: Banyak tunawisma mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, trauma, dan gangguan penggunaan zat. Konseling dan terapi dapat membantu mereka mengatasi masalah ini dan mengembangkan mekanisme koping yang sehat.
- Manajemen Obat: Bagi tunawisma yang membutuhkan pengobatan psikiatri, dukungan dalam manajemen obat sangat penting. Ini termasuk memastikan mereka mendapatkan resep yang tepat, meminum obat secara teratur, dan memantau efek samping.
- Kelompok Dukungan: Kelompok dukungan dapat memberikan ruang yang aman bagi tunawisma untuk berbagi pengalaman, saling mendukung, dan mengurangi perasaan isolasi. - Dukungan Sosial, Seperti:
- Bantuan Perumahan: Salah satu kebutuhan paling mendasar bagi tunawisma adalah tempat tinggal yang aman dan layak. Program bantuan perumahan dapat membantu mereka mendapatkan tempat tinggal sementara atau permanen.
- Bantuan Makanan dan Pakaian: Banyak tunawisma kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti makanan dan pakaian. Program-program sosial dapat menyediakan bantuan ini secara teratur.
- Pendidikan dan Pelatihan: Pendidikan dan pelatihan keterampilan dapat membantu tunawisma meningkatkan kemampuan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan mandiri secara finansial.
- Pekerjaan: Mencari dan mempertahankan pekerjaan adalah tantangan besar bagi tunawisma. Program-program pendampingan kerja dapat membantu mereka dalam proses ini. - Pemberdayaan dan Advokasi, Seperti:
- Penguatan Kapasitas: Program-program pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri tunawisma, serta membantu mereka mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup mandiri.
- Advokasi Hak: Tunawisma seringkali menghadapi diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Advokasi hak bertujuan untuk melindungi hak-hak mereka dan memastikan mereka mendapatkan akses ke layanan yang dibutuhkan. - Integrasi Sosial, Seperti:
- Membangun Kembali Hubungan: Banyak tunawisma kehilangan kontak dengan keluarga dan teman-teman mereka. Program-program reintegrasi sosial dapat membantu mereka membangun kembali hubungan yang positif.
- Kegiatan Komunitas: Mengikuti kegiatan komunitas dapat membantu tunawisma merasa lebih terhubung dengan masyarakat dan mengurangi perasaan isolasi. - Intervensi Krisis, Seperti:
- Hotline Darurat: Hotline darurat dapat memberikan dukungan dan informasi bagi tunawisma yang mengalami krisis, seperti pikiran untuk bunuh diri atau situasi kekerasan.
- Tempat Perlindungan: Tempat perlindungan dapat memberikan tempat tinggal sementara yang aman bagi tunawisma yang berada dalam situasi berbahaya
Dukungan psikososial membutuhkan kebijakan yang mendukung agar dukungan psikososial dapat diwujudkan sehingga memerlukan sejumlah kebijakan dari pemerintah seperti penyediaan perumahan yang layak, akses ke layanan kesehatan dan pendidikan, serta program-program pemberdayaan ekonomi yang komprehensif dan terintegrasi, tunawisma dapat memiliki kesempatan yang lebih baik untuk pulih, membangun kembali hidup mereka, dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat yang dimulai dari menyehatkan mental atau kejiwaan.
Markus 5:25-34 dikisah seorang perempuan yang sakit pendarahan selama dua belas tahun yang ingin sembuh dengan mendatangi berbagai tabib tetapi hasilnya bertambah buruk dan kekayaannya lenyap sehingga mengalami masalah seperti orang yang membutuhkan tabib namun tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memberikan imbalan kepada tabib atas jasa yang diberikan oleh tabib. Yesus berkunjung ke daerah dimana orang yang menderita pendarahan tinggal dalam situasi perempuan tersebut telah seperti orang miskin yang menderita sakit. Perempuan itu merangkak dengan iman hingga dapat menjamah jumbai jubah Yesus lalu alami kesembuhan. Kuasa Yesus mengalir saat perempuan yang telah menjadi miskin bertindak dengan iman yang berkenan dan benar. Perempuan tersebut tidak alami gangguan kejiwaan yang signifikan sehingga dapat bertindak dengan iman lalu alami kuasa Yesus mengalir di hidupnya. Yesus pun berkata: "Hai anak-ku imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu!"
Yesus berseru kepada semua orang yang letih lesu dan berbeban berat yang disebabkan segala macam faktor penyebab. Jika seandainya Yesus hidup di zaman sekarang dan berinteraksi dengan seorang tunawisma yang mengalami masalah kejiwaan akibat faktor internal dan eksternal, kemungkinan tindakan yang akan Ia lakukan, didasari oleh ajaran dan teladan kasih-Nya adalah:
- Mendekati dengan Kasih dan Tanpa Penghakiman serta berinteraksi dengan tanpa cela. Ia tidak akan menjauhi atau merasa jijik pada tunawisma tersebut, melainkan mendekatinya dengan penuh penerimaan dan pengertian.
- Mendengarkan dengan Empati sehingga Ia akan meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita dan pengalaman tunawisma tersebut, memahami beban yang ia pikul, baik yang berasal dari trauma masa lalu, isolasi sosial, maupun perasaan tidak berdaya.
- Menawarkan dukungan dan penghiburan untuk memberikan kelegaan bagi mereka yang letih lesu dan berbeban berat (Matius 11:28). Ia akan menawarkan dukungan emosional dan spiritual, menghibur tunawisma tersebut, dan mengingatkannya akan kasih dan harapan yang ada dalam Tuhan.
- Menyediakan kebutuhan dasar karena ada kepedulian terhadap kebutuhan fisik dan materi. Ia mungkin akan membantu tunawisma tersebut mendapatkan makanan, pakaian, tempat tinggal sementara, atau akses ke layanan kesehatan.
- Mengajak dalam Komunitas yang Inklusif dari berbagai latar belakang dan status sosial sehingga tunawisma dapat merasa diterima, dihargai, dan memiliki rasa memiliki.
- Menginspirasi untuk Melihat Potensi Diri, termasuk mereka yang dianggap "tidak berguna" oleh masyarakat. Ia akan menginspirasi tunawisma tersebut untuk melihat potensi dan nilai dirinya, serta mendorongnya untuk mengembangkan diri dan meraih kehidupan yang lebih baik.
- Mengajarkan tentang Kasih dan Pengampunan yang akan membantu tunawisma tersebut untuk memahami dan menerima dirinya sendiri, serta mengampuni orang-orang yang mungkin telah menyakitinya.
- Memberikan Harapan dan Kekuatan yang baru bagi tunawisma tersebut, bahwa ada kemungkinan untuk pulih, berubah, dan memiliki masa depan yang lebih baik.
- Melayani dengan profesional secara spiritual termasuk aspek kejiwaan sebagaimana layaknya seorang psikolog, psikiater, atau pekerja sosial lalu di akhiri dengan ucapan berkat dan juga tanda ajaib atau mujizat sesuai kebutuhan dari tunawisma yang alami gangguan kejiwaan.
Seruan Yesus bagi tunawisma yang alami masalah kejiwaan atau gangguan mental telah banyak dilakukan terutama yang banyak dipublikasi berasal gereja di Amerika Selatan. Sebagai pengikut Kristus maka saat menangani kondisi tunawisma yang alami masalah kejiwaan sebaiknya untuk memperhatikan beberapa hal yang penting, diantaranya:
- Pendekatan Holistik atau Wholistik misalnya dengan intervensi psikososial bagi tunawisma harus bersifat menyeluruh, yaitu mempertimbangkan semua aspek kehidupan mereka, termasuk fisik, mental, sosial, dan ekonomi.
- Kerja Sama Multisektor melalui pendekatan membangun kerja sama dari berbagai sektor, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, sukarelawan, dan masyarakat umum.
- Penghormatan dan Empati dalam setiap intervensi psikososial terhadap tunawisma. Mereka adalah individu yang memiliki hak dan martabat yang sama dengan orang lain.
- Lihat dan teladani Yesus yang telah memberikan contoh sempurna melayani semua lapisan masyarakat termasuk kalangan yang tertolak dan kelompok marginal sehingga dapat memiliki kesempatan yang lebih baik untuk pulih, membangun kembali hidup mereka, dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat.
Hal sederhana yang mungkin dapat dilakukan adalah mengurangi ketidakpedulian terhadap tunawisma yang alami masalah mental dan gangguan kejiwaan melalui diantaranya:
- Meningkatkan Kesadaran: Mengedukasi masyarakat tentang realitas kemiskinan dan ketidaksetaraan, serta dampak aporofobia.
- Membangun Empati: Mendorong interaksi dan dialog antara orang kaya dan orang miskin untuk membangun empati dan saling pengertian.
- Melawan Stereotip: Menantang stereotip dan prasangka negatif terhadap orang miskin termasuk tunawisma.
- Advokasi Kebijakan: Mendorong kebijakan yang lebih adil dan inklusif yang mendukung orang miskin termasuk tunawisma.
- Dengan berkurangnya ketidakpedulian, dapat berharap terbentuk masyarakat yang lebih adil dan berbelas kasih, di mana semua orang memiliki kesempatan untuk hidup dengan martabat.
Seruan atau ajakan Yesus bagi yang berbeban berat termasuk tunawisma yang alami masalah kejiwaan datang kepada-Nya agar mereka pun mendapatkan kelegaan. Kelegaan berupa untuk tubuh maupun untuk jiwa dialami sehingga diharapkan dalam kekekalan pun roh mereka pun alami kelegaan bersama-Nya di Surga kelak. Manfaat bila jiwa mengalami kelegaan akibat menerima undangan Yesus datang kepada-Nya antara lain:
- Kelegaan jiwa membantu mengurangi tingkat stres dan kecemasan yang seringkali menjadi bagian dari kehidupan modern. Ketika jiwa merasa tenang dan damai, tubuh juga merespons dengan lebih baik terhadap tekanan hidup sehari-hari.
- Kelegaan jiwa berkontribusi pada kesehatan mental yang lebih baik. Perasaan damai dan tenang membantu mengurangi risiko depresi, gangguan kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya.
- Orang yang mengalami kelegaan jiwa cenderung tidur lebih nyenyak dan berkualitas. Tidur yang cukup dan berkualitas sangat penting untuk kesehatan fisik dan mental secara keseluruhan.
- Kelegaan jiwa membantu meningkatkan konsentrasi dan fokus. Ketika pikiran tenang, seseorang dapat lebih mudah berkonsentrasi pada tugas-tugas yang dihadapi, sehingga meningkatkan produktivitas dalam belajar atau bekerja.
- Kelegaan jiwa memengaruhi interaksi sosial seseorang. Orang yang merasa damai dan tenang cenderung lebih sabar, pengertian, dan mampu membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain.
- Kelegaan jiwa membantu seseorang merasa lebih bersyukur atas apa yang dimiliki dan mengalami kebahagiaan yang lebih dalam. Perasaan syukur dan bahagia berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik.
- Kelegaan jiwa juga berdampak positif pada kesehatan fisik. Stres kronis dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan gangguan pencernaan. Dengan mengalami kelegaan jiwa, risiko masalah kesehatan ini dapat dikurangi.
- Kelegaan jiwa memberikan ruang bagi seseorang untuk lebih mengenal diri sendiri. Dalam ketenangan, seseorang dapat merenungkan nilai-nilai hidup, tujuan, dan makna hidup yang lebih dalam.
- Kelegaan jiwa seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan spiritual. Ketika jiwa tenang, seseorang lebih mudah merasakan kehadiran Tuhan atau kekuatan yang lebih besar dalam hidupnya.
- Orang yang mengalami kelegaan jiwa memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi tantangan hidup. Mereka lebih mampu mengatasi stres, kesulitan, dan perubahan negatif dalam hidup mereka.
Kelegaan jiwa adalah sebagian bentuk dari hadirnya kerajaan Surga di bumi seperti doa yang diajarkan Yesus Kristus TUHAN sebab kita dibawa dalam anugerah-Nya lebih memungkinkan untuk melakukan segala Firman-Nya sebab damai sejahtera dari Bapa melimpah dalam hidup kita di bumi menjelang hari penyelamatan yang menjadikan kita sebagai umat-Nya menikmati keagungan 'Dia yang duduk di atas Tahta dan Anak Domba' yang memuaskan kebutuhan utama manusia yang adalah ciptaan-Nya sebagai Imago Dei.
- Tulisan lainnya di werua blog:
- Letih Lesu Dan Empati Yesus
- Kuk Dari Yesus
- Stres Ekonomi
- Ajakan Menerima Berkat Rohani
- Lewati Stresor Penyebab Tekanan Depresi
- Mari Ikutlah AKU
- Raih Kepuasan Hidup
- Sabda TUHAN Untuk Waktu Istirahat
- Kesehatan Lintas Generasi
- Kelelahan Menjalani Kehidupan