Sebab Tuhan adalah Roh; dan dimana ada Roh Allah, disitu ada kemerdekaan 2 Korintus 3:17

Senin, 16 Desember 2024

Pengantar Teologi Limbah Berbahaya

Siapa mempercayakan bumi kepada-Nya? Siapa membebankan alam semesta kepada-Nya? Ayub 34:13

Teks Alkitab di atas adalah pendapat dari Elihu, yang berkeyakinan bahwa Allah tidak berlaku curang setelah mendengar bahwa Ayub mengaku tidak bersalah. Kita yang dapat membaca kisah hidup Ayub, mengakui bahwa penderitaan Ayub adalah sebuah ujian yang diizinkan oleh TUHAN ALLAH agar hidupnya timbul seperti emas. Sekalipun benar bahwa penderitaan Ayub bukan disebabkan oleh melakukan perbuatan yang salah, tetapi jika mengaku tidak bersalah maka menjadikan TUHAN ALLAH sebagai pendusta karena setiap manusia pernah melakukan kesalahan. Hanya TUHAN yang tidak pernah melakukan kesalahan.

Jamieson-Fausset-Brown Bible Commentary, menyatakan berdasarkan dari teks Alkitab di atas disimpulkan "Kalau dunia ini bukan milik Allah, dan dunia ini diciptakan bukan oleh-Nya, melainkan diserahkan kepada-Nya melalui kuasa tertentu, maka mungkin saja Dia bertindak tidak adil, karena dengan begitu Dia tidak akan merugikan diri-Nya sendiri. Akan tetapi langit dan bumi dijadikan oleh ALLAH, jika Allah bertindak tidak adil, maka seluruh tatanan dunia akan rusak, dan dengan demikian akan merugikan milik Allah sendiri (Ayub 36:23)".

Allah memperhatikan dan bertindak adil dalam seluruh aspek kehidupan yang ada di bumi, termasuk urusan "Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya". Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu, tetapi telah menyerahkan tanggung jawab pengelolaannya kepada manusia sebagai makhluk yang menjadi mandataris yang melaksanakan fungsi penatalayanan di bumi. Hal itu berdasarkan sejumlah teks Alkitab, diantaranya:
- Kejadian 1:28: "Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Ayat ini sering dikutip sebagai dasar bagi manusia untuk mengelola bumi. Namun, "menaklukkan" di sini tidak berarti mengeksploitasi tanpa batas, melainkan mengelola dengan bijaksana.
  - Mazmur 24:1-2: "Mazmur Daud. Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai." Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu adalah milik Tuhan, termasuk bumi dan sumber dayanya. Kita sebagai manusia hanyalah penatalanya.
- Amsal 11:21: "Sungguh, orang jahat tidak akan luput dari hukuman, tetapi keturunan orang benar akan diselamatkan." Ayat ini mengajarkan bahwa tindakan kita, baik atau buruk, akan berdampak pada diri kita dan generasi mendatang. Membuang limbah berbahaya secara sembarangan adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab dan akan berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia.

Tuhan menciptakan alam semesta dan segala isinya, termasuk manusia. Manusia diberi mandat untuk mengelola dan memelihara ciptaan Tuhan sehingga hidup manusia terhadap lingkungan disekitarnya memiliki "Tanggung Jawab sebagai Manusia". TUHAN memberikan tanggung jawab kepada manusia untuk mengelola bumi. Ini berarti manusia memiliki kewajiban moral untuk merawat lingkungan dan mencegah kerusakan, termasuk masalah limbah berbahaya. Dalam menjalankan tanggung-jawab, TUHAN mengaruniakan "Kehendak Bebas Manusia" sehingga dapat membuat suatu pilihan, apakah mau mencemari lingkungan dengan limbah berbahaya adalah sebuah pilihan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan? Pilihan manusia akan berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Tuhan memberikan konsekuensi atas tindakan manusia, baik itu baik maupun buruk. Tuhan menyerahkan keputusan kepada manusia sebab dalam segala situasi "Tuhan tetap berdaulat atas segala sesuatu, bahkan dalam situasi yang kacau akibat ulah manusia." Tuhan dapat menggunakan manusia untuk membawa perubahan dan mengatasi masalah lingkungan, termasuk masalah limbah berbahaya.

Memperhatikan "Tanggung Jawab Moral" untuk merawat lingkungan dan mencegah kerusakan, maka perlu adanya tindakan nyata untuk mengatasi masalah limbah berbahaya, seperti mengurangi produksi limbah, mendaur ulang, dan mengelola limbah secara bertanggung jawab selain berdoa memohon hikmat dan kekuatan dari Tuhan untuk mengatasi masalah lingkungan.

Salah satu aksi tindakan nyata untuk mengatasi limbah berbahaya, maka diadakan "Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya". Konvensi dihadiri oleh 190 negara yang bersama-sama membahas siklus hidup bahan kimia dan pengelolaan limbah global.

Menurut Pamela Chasek, PhD "Limbah berbahaya adalah bahan buangan yang dapat merusak kesehatan manusia atau lingkungan. Ini termasuk limbah yang mengandung logam berat, bahan kimia beracun, limbah medis yang dapat menular, barang elektronik, plastik, dan zat korosif, mudah terbakar, mudah meledak, atau radioaktif. Perkiraannya bervariasi, tetapi sekitar 400 juta ton limbah berbahaya dihasilkan setiap tahun — hampir 13 ton per detik. Negara-negara industri menghasilkan sebagian besar limbah ini, tetapi jumlahnya telah meningkat pesat di banyak negara berkembang. Sebagian besar limbah berbahaya tetap berada di negara tempat limbah tersebut diproduksi, tetapi sebagian dikirim melintasi batas negara untuk dibuang atau didaur ulang."

Sejak tahun 1970-an dan 1980-an, telah hadir undang-undang yang mengatur pembuangan limbah berbahaya di negara-negara maju, dan sejumlah perusahaan mulai mencari lokasi pembuangan yang lebih murah. Akibatnya, pengiriman limbah berbahaya dari Utara ke Selatan meningkat secara signifikan. Negara-negara berkembang atau perusahaan-perusahaan di dalamnya—terutama di Afrika, Amerika Tengah, Asia Selatan, dan Karibia—tergoda oleh tawaran pendapatan yang substansial untuk menerima limbah tetapi tidak memiliki teknologi atau kapasitas administratif untuk membuangnya dengan aman. Sebagian dari perdagangan ini legal, tetapi banyak yang tidak, dengan limbah memasuki negara-negara secara diam-diam karena suap atau diberi label sebagai sesuatu yang lain. Dalam beberapa kasus, bisnis yang tertarik untuk mendaur ulang produk yang mengandung bahan berbahaya (seperti industri pembongkaran kapal di Asia Selatan dan bagian dari industri limbah elektronik) menghindari aturan impor atau mengabaikan atau menghalangi peraturan lingkungan dan kesehatan manusia dalam negeri.

Indonesia saat ini telah memberi perhatian terhadap limbah beracun dan berbahaya. Hal ini terlihat jelas dengan hadirkan undang-undang yang mengatur keberadaan limbah berbahaya. Contoh:
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Undang-undang ini merupakan payung hukum utama dalam pengelolaan lingkungan, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai limbah B3.
- Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun: Peraturan ini merupakan turunan dari UU 32/2009 dan mengatur secara lebih rinci mengenai pengelolaan limbah B3, mulai dari definisi, jenis, hingga prosedur pengelolaannya.

Salah satu sejarah penting terlaksananya konvensi Basel adalah saat kapal kargo Khian Sea melaut pada tahun 1986 untuk mencari lokasi pembuangan 14.000 ton abu insinerator yang mengandung kadar timbal, kadmium, dan logam berat lainnya yang tinggi. Abu tersebut berasal dari insinerator di Amerika Serikat. Kapal tersebut menghabiskan waktu hampir dua tahun di laut, dan selama itu namanya berubah dua kali. Pada bulan Januari 1988, kapal tersebut membuang 4.000 ton abu di Haiti dan membuang 10.000 ton sisanya pada bulan November di berbagai tempat di Samudra Atlantik dan Samudra Hindia.

Hal mendasar yang terkait limbah berbahaya, antara lain: "Produksi dan pergerakan lintas batas limbah berbahaya harus dikurangi seminimal mungkin; dan limbah berbahaya harus dikelola dengan cara yang ramah lingkungan, diolah, dibuang sedekat mungkin dengan sumber penghasilnya dan diminimalkan di sumbernya. Perkembangan setelah konvensi Basel, muncul amandemen Larangan melarang ekspor limbah berbahaya untuk pembuangan akhir atau daur ulang dari negara-negara yang tercantum dalam Lampiran VII konvensi (Pihak negara maju) ke negara-negara non-Lampiran VII. Amandemen Larangan mulai berlaku pada tahun 2019.

Pada bulan Desember 1999, muncul protokol tersebut menetapkan cara menentukan tanggung jawab dan kompensasi atas kerusakan yang diakibatkan oleh pergerakan limbah berbahaya lintas negara yang legal atau ilegal. Protokol tersebut juga membahas siapa yang bertanggung jawab secara finansial jika terjadi insiden. Hingga saat ini, Protokol tersebut belum berlaku.

Efektivitas dari konvensi Basel berdasarkan catatan praktik pembuangan limbah berbahaya sebenarnya dapat dipertanyakan. Salah satu faktor adalah peristiwa yang terjadi tahun 2006. Sebuah kapal tanker kimia tua yang membawa lebih dari 400 metrik ton air cucian yang sangat terkontaminasi (air yang digunakan untuk membersihkan palka kapal) berlayar ke Nigeria untuk mengirimkan kargo yang berbeda dan kemudian berlabuh di Abidjan, Pantai Gading. Di bawah naungan malam, air limbah yang terkontaminasi dipindahkan ke truk tangki, yang kemudian membuangnya di 16 lokasi terbuka yang berbeda di sekitar kota, banyak di dekat pasokan air atau pertanian. Setidaknya 15 orang meninggal, ribuan orang dirawat di rumah sakit, dan lebih dari 100.000 orang mencari perawatan medis, membanjiri rumah sakit setempat. Banyak kegiatan perikanan, sayuran, dan peternakan kecil dihentikan dengan bisnis terkait ditutup dan pekerja diberhentikan. Insiden tersebut menyoroti tidak adanya sistem pelacakan yang efektif untuk pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan kekhawatiran bahwa pengiriman ini, baik yang legal maupun ilegal, mungkin menghasilkan lebih banyak kerusakan lingkungan daripada yang diketahui.

Daftar jenis limbah berbahaya sangat beragam sehingga penerbitan tentang pedoman hal-hal yang termasuk kategori limbah berbahaya sangat penting. COP10 menyusun daftar, seperti: "limbah minyak, limbah biomedis dan perawatan kesehatan, polutan organik persisten (POP), bahan kimia individual seperti PCB, kapal usang, dan telepon seluler." Salah satu limbah yang cukup menarik perhatian adalah sampah elektronik, atau e-waste, merujuk pada perangkat elektronik yang dibuang, rusak, atau usang. Sampah elektronik meliputi telepon, televisi, komputer, printer, monitor, sensor, dan pemutar CD, DVD, dan MP3, serta suku cadang dan komponennya. Secara global, produksi sampah elektronik tumbuh lebih dari 50 juta ton per tahun . Pada tahun 2019, volume rata-rata sampah elektronik yang dihasilkan per kapita di seluruh dunia mencapai 7,3 kilogram . Angka ini diperkirakan akan meningkat, mencapai sekitar sembilan kilogram per kapita pada tahun 2030.

Sampah elektronik / Limbah elektronik atau e-waste menggambarkan perangkat listrik atau elektronik yang dibuang. Barang elektronik bekas yang ditujukan untuk perbaikan, penggunaan kembali, penjualan kembali, daur ulang melalui pemulihan material, atau pembuangan juga dianggap sebagai e-waste. Limbah elektronik sering kali mengandung bahan berbahaya. Ini termasuk logam berat—seperti timbal, kadmium, dan berilium—serta berbagai bahan kimia beracun, termasuk bahan penghambat api tertentu. Daur ulang limbah elektronik, terutama di negara-negara berkembang, dapat menghasilkan sumber daya yang sangat penting tetapi juga dapat menyebabkan polusi serius dan masalah kesehatan jika tidak ada tindakan pencegahan yang tepat untuk melindungi pekerja dan mencegah pelepasan polutan ke lingkungan melalui pembuangan langsung, tempat pembuangan sampah yang dirancang dan dioperasikan dengan buruk, pembakaran terbuka, atau pembuangan dan abu insinerator. Sebuah laporan UNEP menyimpulkan 90 persen limbah elektronik dunia dibuang secara tidak benar, dibuang begitu saja, atau diperdagangkan secara ilegal setiap tahun. Besaran sampah elektronik tidak memiliki data yang akurat sebab aturan lintas batas negara dalam hal membuang sampah elektronik berdasarkan amandemen terhadap Lampiran II, VIII, dan IX dari Konvensi Basel, mulai 1 Januari 2025.

Limbah berbahaya yang cukup mengkhawatir adalah sampah plastik, khususnya sampah laut, merupakan masalah lingkungan global yang besar dan terus berkembang. Plastik bertahan hampir tanpa batas waktu di lingkungan dan berdampak signifikan pada keanekaragaman hayati laut dan pesisir. Beberapa plastik juga mengandung, dibuat dengan, atau diolah dengan zat berbahaya, termasuk POP. Mikroplastik—potongan kecil yang berkisar dari partikel seukuran beras hingga potongan mikroskopis yang awalnya merupakan bagian dari kantong plastik, botol, sedotan, dan barang lainnya—ada di sebagian besar hewan laut, termasuk ikan yang dimakan manusia. UNEP memperkirakan produksi plastik global tahunan lebih dari 320 juta ton per tahun dan hanya 9 persen dari sekitar 6,3 miliar ton sampah plastik yang diproduksi sejak tahun 1950-an yang telah didaur ulang dan hanya 12 persen yang dibakar. Dalam menangani sampah plastik perlu memperhatikan usaha untuk mempromosikan dan meningkatkan pencegahan, minimalisasi, dan pengelolaan sampah plastik yang ramah lingkungan, termasuk mikroplastik.

Pemerintah Indonesia dalam urusan yang terkait dengan limbah berbahaya, terfokus kepada sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifatnya atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan1 kesehatan manusia. Hal-hal seperti masuknya barang elektronik yang sudah tidak sesuai dengan kemajuan teknologi, misalnya handphone (biasanya tanpa merek yang jelas) hingga saat tulisan dibuat diduga kurang diperhatikan - tetapi ketentuan internasional hal itu baru berlaku 1 januari 2025.

 

TUHAN memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat apa saja dalam segala kehidupannya, termasuk ketika menghadapi terjadinya fenomena sosial dimana hadir sejumlah limbah yang jika dicermati dengan teliti, mungkin menimbulkan dampak yang kurang baik. Tulisan pengantar teologi limbah berbahaya hanya bersifat mengigatkan terhadap kemungkinan adanya produk-produk yang beredar di masyarakat atau produk-produk yang ada di tempat pembuangan sampah, namun berpotensi berdampak buruk terkait ajaran dari Firman TUHAN dimana manusia menjadi penatalayanan di bumi agar memungkinan adanya keadilan antar generasi, misal dalam hal lingkungan hidup.





Tulisan lainnya:
Mengelola Bumi Dan Pertumbuhan Ekonomi
Air Bersih Dan Sanitasi Dalam Alkitab
Lingkungan Yang Adil Bagi Generasi Penerus
Dasar Teknologi Berkelanjutan
Kesejahteraan Ekonomi Untuk Gnerasi Penerus
Mengenal Teologi Lingkungan
Green Management
Alkitab, Energi Bersih Dan Terjangkau





Share this

Random Posts

Kontak

Pesan untuk admin dapat melalui: Kirim Email

Label Mobile

biblika (83) budaya (47) dasar iman (97) Dogmatika (75) Hermeneutika (76) karakter (42) konseling (81) Lainnya (92) manajemen (67) pendidikan (58) peristiwa (69) Resensi buku (9) Sains (53) Sistimatika (71) sospol (64) spritualitas (91) tokoh alkitab (44) Video (9)