Nabi Yesaya menaruh perhatian besar pada peran seorang pemimpin sebab seorang pemimpin memiliki peran, fungsi untuk mengayomi seluruh rakyatnya, terutama mereka yang lemah dan membutuhkan. Yesaya dalam konteks di atas menyoroti masalah yang mendesak di Yehuda untuk ditangani oleh raja-raja Yehuda yaitu: Raja Uzia, Raja Yotam, Raja Ahas dan Raja Hizkia sebab Yesaya hidup pada zaman Yehuda dipimpin oleh mereka. Setiap pemimpin dalam setiap ruang dan waktu menghadapi permasalah tersendiri namun memiliki fungsi yang sama sebagai "orang yang dipercaya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi serta membawa menjadi lebih baik". Status seorang pemimpin bukan saja erat dengan wewenang yang dimiliki tetapi ada tanggung jawab yang harus dijalankan termasuk para pemimpin di Indonesia. Di Indonesia untuk menjadi seorang pemimpin di wilayah tertentu untuk daerah tingkat kabupaten atau kota, provinsi dan negara melewati proses pemilihan umum sehingga tidak dapat melepaskan diri dari apa yang menjadi bahan kampanye serta sejumlah peraturan yang telah ditetapkan. Rakyat yang beraneka ragam diantaranya ada yang masuk dalam kelompok masyarakat kelas bawah seperti penghuni yang menghuni tempat kumuh atau sejenisnya.
Kebijakan terhadap permasalah hunian kumuh, tunawisma dan gelandangan mendapatkan perhatian yang besar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa / United Nations karena hal itu adalah kebutuhan dasar. United Nations (PBB) memiliki pandangan yang komprehensif mengenai akses terhadap kebutuhan dasar yang merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan kunci untuk mencapai pembangunan manusia yang berkelanjutan. Indonesia sebagai bagian dari United Nations sudah sewajarnya bila ikut serta berjuang agar hak asasi manusia dihormati sehingga apa yang dianggap kebutuhan dasar warga negara di Indonesia pun perlu diperjuangkan.
Kebutuhan dasar manusia mencakup segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk hidup dengan martabat, termasuk:
- Makanan dan air bersih: Akses terhadap makanan bergizi yang cukup dan air bersih yang aman untuk konsumsi.
- Perumahan yang layak: Tempat tinggal yang aman, sehat, dan terjangkau.
- Sanitasi: Akses terhadap fasilitas sanitasi yang bersih dan aman.
- Kesehatan: Akses terhadap layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas.
- Pendidikan: Kesempatan untuk memperoleh pendidikan berkualitas.
- Energi: Akses terhadap energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern.
Indonesia memiliki sejumlah perangkat yang mengatur soal perumahan yang layak sebagai bagian kebutuhan dasar manusia yang menjadi bagian dari hak asasi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 H ayat (1), menyebutkan bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak untuk bertempat tinggal tersebut, kemudian dijelaskan secara lebih lanjut ke dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 40, disebutkan bahwa setiap orang/ individu berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. Dapat dipahami bahwa setiap orang berhak untuk dapat menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur (Pasal 129, Undang-Undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman).
Pasal 129 dalam Undang-undang No.1 Tahun 2011 tertulis: Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:
a. menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
b. melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
c. memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
d. memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan
f. mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat.
Kebijakan terhadap hunian kumuh, tunawisma dan gelandangan perlu peninjauan kembali berdasarkan sejumlah aturan seperti yang tertulis di atas. Hal yang perlu diamati adalah persentase masyarakat Indonesia yang tinggal di rumah tidak layak huni berdasarkan hitungan yang moderat berkisar antara 34,75% hingga 36,85%. Angka ini diperoleh dari:
- Menurut Kompas.com, pada 1 Januari 2025, 34,75% keluarga di Indonesia tinggal di rumah tidak layak huni.
- Menurut perkim.id, 36,85% rumah tangga di Indonesia hidup dalam kondisi tidak layak.
- Menurut Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu, baru 56,5% rumah tangga di Indonesia menghuni rumah layak huni.
- Menurut BTN, mayoritas keluarga yang tidak memiliki rumah adalah masyarakat berpenghasilan rendah.
Rumah tidak layak huni (RTLH) adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni atau dapat masukkan kedalam hunian kumuh. Rumah yang layak huni dan terjangkau harus menggunakan lima kriteria, yaitu: Ketahanan bangunan, Kecukupan luas tempat tinggal, Akses air minum layak, Akses sanitasi layak, Keamanan bermukim. Mereka yang berdiam dalam hunian kumuh tidak menikmati kehidupan yang memadai dalam menikmati hak dasar sebagai manusia terlebih-lebih mereka yang menjadi tunawisma dan atau gelandangan.
Bila memperhatikan data penduduk tahun 2023 adalah 281,190,000 jiwa dan jika angka pertumbuhan penduduk setiap tahun adalah 0.82% berdasarkan perubahan data penduduk dari tahun 2023 ke tahun 2024 maka pada tahun 2029 maka berdasarkan rumus umum pertumbuhan eksponensial adalah: P(t) = P₀ * (1 + r)^t dimana:
- P(t) = Populasi pada waktu t, - P₀ = Populasi awal, r = Tingkat pertumbuhan (dalam bentuk desimal) dan t = Waktu (dalam tahun) maka proyeksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2029 adalah sekitar 295.401.450 jiwa.
Presiden Prabowo dalam hal kebijaksanaan yang berhubungan dengan perumahan untuk masyarakat di Indonesia mencanangkan dalam lima tahun kepemimpinannya untuk dapat membangun hunian yang layak sebanyak tiga juta unit pertahun sehingga dalam masa kepemimpinannya ada lima belas juta hunian rumah layak huni yang ditargetkan berdiri di Indonesia. Target pembangunan 3 juta rumah layak huni per tahun yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan langkah yang sangat positif dan ambisius. Jika target ini dapat tercapai, maka akan memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Untuk merealisasi target membangun rumah layak huni bukanlah hal yang mudah. Sejumlah tantangan yang mungkin dihadapi antara lain:
- Sumber Dana: Membangun 3 juta rumah setiap tahun membutuhkan dana yang sangat besar. Pemerintah perlu mencari sumber pendanaan yang berkelanjutan, baik dari APBN, BUMN, maupun investasi swasta.
- Lahan: Ketersediaan lahan yang sesuai untuk pembangunan perumahan, terutama di daerah perkotaan, seringkali menjadi kendala. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menyediakan lahan yang cukup dan terjangkau.
- Perizinan: Proses perizinan pembangunan seringkali memakan waktu yang lama dan birokrasi yang kompleks. Pemerintah perlu melakukan reformasi birokrasi untuk mempercepat proses perizinan.
- Kualitas Bangunan: Selain kuantitas, kualitas bangunan juga harus diperhatikan. Pemerintah perlu menetapkan standar kualitas bangunan yang ketat dan melakukan pengawasan yang efektif.
- Keterjangkauan: Rumah yang dibangun harus terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah perlu memberikan berbagai insentif, seperti subsidi bunga KPR, untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Seandainya pemerintah dapat mengatasi segala hal sehingga target membangun rumah layak huni tercapai dan rumah layak huni itu dimiliki oleh orang yang belum memiliki rumah layak huni maka ada hal lain yang harus diperhatikan, antara lain:
- Laju kerusakan rumah: Berapa banyak rumah layak huni yang menjadi tidak layak huni setiap tahunnya? Misal disebabkan akibat bencana alam (misal: gempa, tsunami, longsor, tanah bergerak, ketinggian air laut meningkat, abrasi dan laut pasang, banjir, kekeringan, kebakaran, gunung meletus, cuaca ekstrem hingga kemungkinan terulangnya seperti peristiwa lumpur Lapindo), usia bangunan, atau kurangnya perawatan juga huru-hara atau kerusuhan atau perang meletus.
- Laju pergantian kepemilikan: Seberapa sering terjadi pergantian kepemilikan rumah? misal disebabkan berpindah tangan melalui jual beli, warisan, atau faktor lainnya.
- Distribusi rumah layak huni: Bagaimana distribusi rumah layak huni di berbagai daerah di Indonesia?
Bila sasaran pembangunaan rumah layak huni untuk mengurangi hunian kumuh maka subsidi sangat dibutuhkan. Data menunjukkan sejak digulirkan pada tahun 2010 hingga 20 Desember 2024 atau selama 15 tahun, KPR Subsidi FLPP telah mencapai realisasi KPR sebesar 1,59 juta unit rumah MBR senilai Rp 151,22 triliun dan total dana kelolaan Rp 116,27 triliun. Bila subsidi FLPP masih tetap sama seperti terdahulu maka diduga rencana pembangunan rumah layak huni sebanyak tiga juta unit setiap tahun tidak akan mengubah mereka yang berdiam di hunian yang kumuh atau menjadi tunawisma hingga gelandangan.
Mendirikan rumah subsidi biasanya hanya dilakukan sebagian kecil pengembang dan harga rumah subsidi tahun 2025 masih sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023. Apakah data yang menunjukkan harga rumah subsidi 2025 masih tetap sama mengambarkan bahwa rumah subsidi yang dibangun tahun sebelumnya banyak yang belum terjual atau memiliki pengertian lain? Apakah kredit untuk rumah subsidi untuk tenor 15 tahun pihak pembeli harus menyediakan dana bulanan antara 1,5 juta hingga 2 juta setiap bulan untuk dapat memiliki rumah layak huni bersubsidi? Apakah benar yang terjadi harga tidak naik tetapi penjualan kurang mengembirakan? Pertanyaan ini terlalu awal diajukan sebab harus menunggu laporan keuangan tahunan dari perusahaan untuk mengambil sikap lebih lanjut.
Berdasarkan laporan keuangan tahunan perusahaan yang harus disampaikan ke pemerintah maka seharusnya dipertimbangkan sejumlah kebijaksanaan seperti penurunan biaya sewa rumah susun untuk masyarakat penghasilan rendah dan juga "memikirkan memberikan tumpangan gratis" kalangan "homeless, tunawisma dan gelandangan" tidak bertambah termasuk bantuan sembako kembali disalurkan. (Tahun 2024 jumlah rumah tangga yang menerima bantuan sembako mencapai 20,44%.) Selain karena alami kerugian (ekonomi) juga dapat disebabkan hal lain. Secara teori penyebab penyebab menjadi penghuni hunian kumuh, tunawisma atau gelandangan adalah:
- Faktor Ekonomi seperti: "Kehilangan pekerjaan, penurunan pendapatan, krisis ekonomi, utang yang menumpuk".
- Faktor Kesehatan seperti: Biaya medis yang tinggi, alami disabilitas.
- Faktor Sosial seperti: Kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi atau bencana alam.
- Faktor Hukum seperti: Penggusuran atau masalah hukum seperti perceraian atau sengketa warisan dapat menyebabkan seseorang kehilangan hak atas propertinya.
Ketidakpastian masa depan dalam sosial masyarakat mempengaruhi kehidupan dalam berbagai aspek yang dapat membuat terkejut dengan situasi baru yang diluar perhitungan. Hal tersebut diantaranya adalah:
- Perubahan Sosial yang Cepat karena globalisasi sehingga terjadi perubahan budaya, ekonomi, dan politik yang cepat yang disertai perkembangan teknologi yang pesat mengubah cara kita bekerja, berkomunikasi, dan berinteraksi serta perubahan struktur penduduk, seperti peningkatan populasi usia lanjut atau urbanisasi, dapat mengubah dinamika sosial.
- Ketidakstabilan Ekonomi yang disebabkan seperti fluktuasi pasar atau resesi sehingga terjadi penurunan aktivitas ekonomi yang menimbulkan pengangguran dan ketidakpastian ekonomi.
- Ketidakpastian politik seperti perubahan kebijakan pemerintah yang berdampak kepada ekonomi dan sosial atau terjadinya konflik politik.
Konflik Politik: Konflik politik dapat menyebabkan ketidakstabilan dan ketidakpastian.
- Bencana Alam yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dan krisis sesehatan seperti terjadinya pandemi secara global.
Dunia mengalami krisis sehingga banyak hal yang memicu ketidakpastian meningkatkan resiko dan membuat segala asumsi yang menjadi pertimbangan perencanaan berubah. Krisis secara sederhana dilakukan melalui pendekatan sistem pertahanan dan keamanan sebab hanya terdiri ancaman militer, ancaman non militer dan ancaman hibrida terlebih-lebih memperhatikan crisisgroup.org. Sewaktu-waktu semua catatan dalam perencanaan termasuk kebijaksanaan hunian yang layak harus dibiarkan di tinjau ulang sehingga fleksibel dan beradaptasi dengan aneka perubahan. Ancaman yang belum nyata dapat tiba-tiba menjadi sesuatu yang nyata-nyata menakutkan.
Tunawisma dan penghuni tempat hunian kumuh adalah masyarakat penghasilan rendah sekalipun mungkin tidak masuk dalam kelompok masyarakat miskin. Hal ini terjadi karena Badan Pusat Statistik (BPS), menetapkan per Maret 2024 tentang garis kemiskinan yaitu:
- Garis kemiskinan per kapita di Indonesia sebesar Rp 582,93 ribu per bulan
- Garis kemiskinan di perkotaan sebesar Rp 601,87 ribu per bulan
- Garis kemiskinan di pedesaan sebesar Rp 556,87 ribu per bulan
Komponen makanan merupakan faktor utama yang menyebabkan garis kemiskinan, dengan porsi mencapai 74,44% sedangkan sisanya bukan makanan hanya 25,56%
Badan Pusat Statistik apakah memasukkan sewa tempat untuk hunian yang layak huni bagi mereka yang tidak mampu membeli rumah subsidi? Apakah mempertimbangkan lokasi pekerja yang mendapatkan upah di bawah yang ditetapkan oleh pemerintah (UMR)? Berapa banyak perusahaan yang diwajibkan dan mampu memberikan upah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah? Apakah berpikir bahwa penghuni tempat kumuh, tunawisma dan sejenisnya ada kemungkinan berada diluar garis kemiskinan tetapi tetap tidak mampu menikmati hunian yang layak? Ataukah juga apakah pelayanan rehabilitasi sosial jika telah memberikan keterampilan cara mendapatkan penghasilan sebelum era digitalisasi industri maka yang mendapatkan pelatihan dapat menjalankan fungsi dan peran sosial di masyarakat secara wajar? Ataukah mereka yang sewa tempat agar dapat tempat untuk berteduh ada kesempatan mengikuti "Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni" (RUTILAHU) atau ada program yang lebih baik seperti "tempat penampungan tunawisma yang disebut Northeast New Beginnings di Los Angeles tahun 2022"?
Pemerintah harus mempertimbangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan dalam dimensi waktu. Dasar yang dipakai selama ini seperti " Undang-undang nomor 31 TAHUN 1980, Undang-undang nomor 11 tahun 2009 dan segala peraturan menteri sosial dan peraturan daerah tentang tunawisma dan gelandangan" harus diperbandingkan dengan apa yang diperbuat oleh komunitas internasional yang berupaya untuk melindungi pengungsi melalui berbagai konvensi dan perjanjian internasional, seperti Konvensi Pengungsi 1951. UNHCR (Badan Pengungsi PBB) adalah lembaga utama yang bertugas memberikan perlindungan dan bantuan kepada pengungsi dari seluruh dunia. Jika ada pengungsi yang datang ke Indonesia untuk mendapatkan tempat lokasi pengungsi yang bersedia menerimanya di sejumlah belahan dunia, lalu ternyata memberi bantuan lebih "mewah dan manusiawi" dari lembaga internasional dibandingkan pemerintah dalam menangani rakyatnya yang bernasib buruk sehingga menjadi tunawisma dan gelandangan. Bukankah hal ini dapat memberi penilaian kurang baik dari penderita sosial WNI? Dalam hukum internasional bila Indonesia siap menampung atau menerima 1.000 anak-anak dari Palestina akibat konflik dengan Israel maka fasilitas yang diberikan harus memenuhi standar internasional dari United Nations. Bagaimana dengan rakyat yang alami nasib buruk, apakah diberlakukan sesuai dengan standar dunia ataukah berdasarkan aneka peraturan yang merupakan warisan masa lampau? Keberanian menampung anak-anak dari Palestina harus diikuti keberanian dalam mengelola keuangan negara baik bersifat APBN maupun APBD dalam hal menangani masalah masalah sosial yang bobotnya sekelas dengan menangani pengungsi. Apakah derajat manusia WNI yang "bermasalah secara sosial" lebih rendah dibandingkan dengan "pengungsi" yang diundang secara khusus ataukah masalah di luar negeri lebih membutuhkan perhatian dari negara?
Semua yang terlibat dalam kegiatan ekonomi termasuk pemegang regulasi harus memperhitungkan sosial seperti perubahah akibat teknologi yang menimbulkan sejumlah bahan untuk dipikirkan seperti melalui sejumlah pertanyaan, yaitu: Apakah memperhitungkan perubahan teknologi seperti mesin, robot dan kecerdasan buatan dapat mengantikan peran manusia dalam melakukan kegiatan yang bersifat produktif? Bagaimana perusahaan dapat bersaing secara global jika tidak melakukan digitalisasi? Bukankah pabrik- pabrik pintar nyaris tidak membutuhkan tenaga manusia, kecuali sedikit tenaga-tenaga kerja yang sangat terampil? Bukankah industri padat karya semakin sulit beradaptasi dengan perubahan teknologi dan makin sangat terbatas ruang bergeraknya?
Saat terjadi perubahan sosial yang penuh ketidakpastian dapat memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan mereka yang harus sewa tempat agar dapat menikmati suatu hunian. Kondisi ini semakin memperparah situasi yang sudah mereka hadapi dan menciptakan tantangan baru. Berikut beberapa dampak yang mungkin terjadi:
- Peningkatan Jumlah Tunawisma: Ketidakpastian ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan akibat resesi atau pandemi, dapat mendorong lebih banyak orang untuk menjadi tunawisma.
- Sulitnya Mencari Pekerjaan: Perubahan dalam pasar kerja, seperti otomatisasi dan globalisasi, semakin sulit mencari pekerjaan yang stabil.
- Akses Terbatas pada Layanan Sosial: Pemotongan anggaran untuk layanan sosial atau perubahan kebijakan dapat mengurangi akses tunawisma terhadap tempat penampungan, makanan, dan perawatan kesehatan.
- Kesehatan Mental yang Memburuk: Kehidupan di jalanan yang penuh ketidakpastian dapat menyebabkan stres, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya.
- Keterbatasan Akses terhadap Informasi seperti perubahan kebijakan atau peluang bantuan.
- Peningkatan Risiko Kekerasan: Kehidupan di jalanan membuat tunawisma lebih rentan terhadap kekerasan fisik dan seksual.
- Stigma Sosial: Ketidakpastian sosial dapat memperkuat stigma negatif terhadap tunawisma, membuat mereka semakin terisolasi dan sulit untuk keluar dari situasi tersebut.
Catatan kebijaksanaan hunian layak bagi warga negara terlebih jika sampai menyentuh tunawisma memberikan dampak positif. Dampak itu akan muncul bila program kerja dapat berjalan dengan baik dan bila ada sesuatu yang diluar perhitungan karena ada faktor ketidakpastian dalam menyusun rencana program kerja dapat diselesaikan. Dibutuhkan sikap yang siap untuk berubah dalam kondisi global yang sewaktu-waktu dapat mengalami aneka krisis agar kesejahteraan tidak terlalu mengalami guncangan yang parah.
Dampak Positif Kebijakan Hunian Layak terutama bila mampu menyentuh kelompok tunawisma, antara lain:
- Peningkatan Kualitas Hidup: Akses terhadap tempat tinggal yang layak akan meningkatkan kualitas hidup tunawisma, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental.
- Peningkatan Stabilitas: Memiliki tempat tinggal yang tetap dapat memberikan rasa aman dan stabilitas, sehingga tunawisma dapat fokus untuk memperbaiki kehidupan mereka.
- Akses ke Layanan Sosial: Hunian layak sering kali dilengkapi dengan akses ke berbagai layanan sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan pelatihan kerja, yang dapat membantu tunawisma keluar dari kemiskinan.
- Pengurangan Beban Sosial: Dengan mengurangi jumlah tunawisma, pemerintah dapat mengurangi beban pengeluaran untuk layanan darurat dan perawatan kesehatan.
Berdasarkan nilai yang ada dalam Alkitab, bila pemimpin dapat mengayomi seluruh rakyatnya termasuk dari kalangan tunawisma dan gelandangan dengan baik menurut penilaian TUHAN karena bertanggung-jawab terhadap peran dan fungsi yang melekat dalam dirinya maka dapat dinyatakan sebagai pemimpin seperti di bawah ini:
- Pemimpin Yang Adil: Seorang pemimpin yang baik harus menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah. Ini berarti memberikan akses yang sama bagi semua warga negara, termasuk tunawisma, untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.
- Pemimpin Yang Mengasihi: Pemimpin harus menunjukkan kasih kepada rakyatnya dengan memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti sandang, pangan, dan papan.
- Pemimpin Yang Bijaksana: Pemimpin harus mengambil keputusan yang bijaksana untuk mengatasi masalah sosial, termasuk masalah tunawisma.
- Pemimpin Yang Rendahan Hati: Pemimpin melayani rakyatnya dan tidak bertindak sewenang-wenang karena status, wewenang yang melekat karena jabatan sebagai pemimpin.
Di dunia ada milyaran orang yang tidak menikmati hunian yang layak sehingga hal ini adalah perhatian dunia. Salah satu bentuk perhatian masyarakat internasional muncul perlombaan terkait masalah "homeless" yang dapat dilihat misalnya di https://www.homelessworldcup.org/ Keberhasilan pemerintah dalam menangani masalah tunawisma dan gelandangan berdasarkan standar internasional bukan saja membawa kesejahteraan bagi lapisan masyarakat yang saat ini terpinggirkan sesuai tujuan perjuangan bangsa tetapi juga akan membawa harum nama Indonesia di mata dunia sehingga dapat berperan lebih banyak secara global
- Tulisan lainnya:
- Yesus Dan Penderitaan Kalangan "Homeless, Tunawisma dan pengungsi"
- Anak Abraham Tetapi Beban Sosial
- Solidaritas Kemanusiaan
- Nilai Manusia
- Sikap Yesus Terhadap Pengemis
- Miskin Dalam Kitab Mazmur
- Tragedi Tragis Sebelum Murka TUHAN
- Hak Asasi Manusia berkelanjutan
- Manajemen Pengungsi Perang di Jerman