Ada perbedaan yang yang berlawanan dalam pasal 2 antara apa yang akan terjadi dalam gunung Sion di masa yang akan datang menjadi pusat kerajaan damai dengan kenyataan yang dialami saat itu pada zaman nabi Yesaya hidup karena saat Kitab ditulis alami hukuman dari TUHAN. Tuhan merencanakan berdasarkan visi-Nya yang mulia secara universal bagi gunung Sion sumber shalom bagi bangsa-bangsa namun Yehuda melakukan praktik-praktik yang melanggar ketentuan TUHAN ALLAH sehingga alami penolakan terhadap Sion.
Berdasarkan Yesaya 2:6 ada tiga butir pelanggaran yang dilakukan oleh Sion, yaitu:
1. Religi / Keagamaan berupa Ilmu sihir dari timur (Mesopotamia, Arab) berkembang yang bermula dari terjadi praktik Takhayul dan ramalan yang dilarang hukum Musa (Lihat Imamat 19:26; Ulangan 18:10-14)
2. Kultural / Sosial yaitu adat istiadat bangsa asing, terjadi sinkretisme – menyerap praktik pagan tanpa penyaringan teologis
3. Politik / Diplomasi “Menepuk tangan dengan anak-anak orang asing” terbentuk aliansi politik yang menempatkan kepercayaan pada kekuatan manusia (Asyur, Filistin) bukan pada TUHAN.
Kata נָטַשׁ menyingkapkan pengkhianatan rohani Israel karena ketidaksetiaan terhadap Perjanjian, seperti:
• Ulangan 32:15 menunjukkan tragedi kemakmuran tanpa rasa syukur: "lalu ia meninggalkan Allah yang menciptakannya, dan mencemooh Gunung Batu keselamatannya."
• 2 Raja-raja 21:22 mencatat kemurtadan kerajaan: "Ia meninggalkan TUHAN, Allah nenek moyangnya, dan tidak hidup menurut jalan TUHAN."
• Yeremia 17:13 memperingatkan bahwa "semua orang yang meninggalkan-Mu akan dipermalukan."
Pengkhianatan rohani yang dilakukan Israel (Yehuda) pada titik tertentu berdampak mengalami penghakiman. Dampak akibat penghakiman dapat berupa:
- Yesaya 32:14 : “Karena istana akan ditinggalkan, dan kota yang ramai akan menjadi sunyi.”
- Yeremia 12:7 : “Aku telah meninggalkan rumah-Ku; Aku telah menyerahkan kekasih jiwa-Ku ke dalam tangan musuh-musuhnya.”
Salah satu penyebab rusaknya iman kepada TUHAN adalah takhayul yang memenuhi segala tempat di Yehuda dan hal ini juga merusak iman Kristen. Takhayul bukan karena ia “bodoh” atau “tidak punya logika”, melainkan karena ia menggeser tiga titik berat iman yang digariskan Kitab Suci:
- Sumber kepercayaan digeser dari Allah kepada kuasa lain
- Iman Kristen berakar pada perikatan: “TUHAN itu Elohim; tidak ada yang lain di samping Dia” (Ulangan 6:4).
- Takhayul—baik horoskop, jimat, mantra, atau “angka keberuntungan”—secara praktis menjadikan sesuatu selain Allah sebagai penentu nasib. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap perintah pertama (Keluaran 20:3). - Logika keselamatan digeser dari anugerah menjadi transaksi
- Injil menegaskan: manusia dibenarkan oleh iman melalui kasih karunia, bukan oleh ritual atau barang (Efesus 2:8-9).
- Takhayul membangun skema “jika-kalau” (misal “kalau aku pakai batu ini, Tuhan pasti melindungi”)—mereduksi Allah ke makelar balas-jasa. - Fokus harapan digeser dari masa depan yang dijanjikan kepada ketidakpastian
- Kristus menyuruh umat-Nya tidak kuatir (Matius 6:34) dan berdoa dengan percaya (Matius 6:9-13).
- Takhayul memelihara ketakutan tersembunyi (takut pada hari Jumat 13, takut pada arwah, dsb.) yang membelenggu kebebasan anak-anak Allah (Roma 8:15).
Mekanisme kerusakan secara konkret akibat takhayul.
Dimensi Yang diserang | Efek Takhayul | Konsekuensi bagi iman |
---|---|---|
Pengetahuan akan watak Allah | Allah dipandang “tidak cukup kuat” tanpa bantuan benda/ritual | Kurangnya kepercayaan kepada kebaikan dan kedaulatan-Nya |
Komunikasi dengan Allah (doa) | Doa digantikan mantra atau ramalan | Melemahkan hubungan pribadi dengan Bapa |
Saksi hidup Gaya hidup | Takhayul membuat orang Kristen terlihat tidak berbeda dari lingkungan pagan | Menghilangkan kredibilitas Injil di mata dunia |
Takhayul bukan sekali-kali soal “benar-salah” ilmiah, tetapi soal lokasi iman yaitu bahwa “Iman yang sehat meletakkan telur di keranjang Allah; takhayul meletakkan telur di keranjang angin. ”Setiap kali seorang Kristen berpaling pada takhayul, ia secara sadar atau tidak menyewakan ruang di hati untuk sesuatu yang bersaing dengan kedaulatan Kristus—dan itulah inti kerusakan iman. Ketika seseorang mulai meyakini kekuatan angka, benda, atau mantra di luar Allah, maka hanya butuh sedikit dorongan untuk jatuh pada sihir. Alkitab pun mencatat seperti:
- Saul kehilangan kerajaan karena meminta nenek sihir di Endor (1Sam 28) alih-alih bertahan pada firman Tuhan.
- Paulus di Filipi mengusir roh tenung (Kisah Para Rasul 16:16-18) karena tidak tahan gangguan.
- Wahyu 21:8 menempatkan “penyihir” dalam satu deret dengan pembunuh dan penipu, bukan karena mereka “kuno”, melainkan karena menjadi sumber kebohongan yang menyesatkan.
Ramalan, sihir dan spiritisme dalam konteks bahasa Yunani di Perjanjian Baru memiliki kata yang samayaitu φαρμακεία (pharmakeia). Ramalan—baik astrologi, nujum, ramalan bintang, tarot, konsep “nasib berdasarkan tanggal lahir”, atau praktik ramalan tradisional lainnya—dianggap merusak iman orang percaya karena menyerang inti dari apa yang didefinisikan Alkitab sebagai iman yang sehat: kepercayaan total kepada Allah yang hidup dan berdaulat penuh atas masa depan, sehingga:
1. Menempatkan sumber pengetahuan di luar wahyu Allah. Alkitab menempatkan Allah sebagai satu-satunya yang mengetahui dan menentukan masa depan (Yesaya 46:9-10; Yakobus 4:13-15). Ramalan berusaha mencuri pengetahuan itu melalui cara yang tidak diizinkan (Imamat 19:26; Ulangan 18:10-14).
Akibatnya, kepercayaan kepada wahyu-Nya digantikan oleh kepercayaan pada “pengetahuan alternatif” yang bukan berasal dari-Nya.
2. Menggeser fokus iman dari Allah kepada kekuatan tersembunyi. Iman umat Yang Percaya adalah iman kepada Pribadi (Allah) bukan kepada sistem deterministik (bintang, angka, kartu, atau arwah). Ramalan menguasai pikiran dengan rasa takut atau harapan palsu terhadap kekuatan yang tidak memiliki kuasa sejati (Mazmur 115:4-8). Ini sama dengan menyembah berhala modern: bukan patung, tetapi prinsip-prinsip yang mengklaim bisa mengontrol nasib.
3. Menghancurkan kebebasan moral dan tanggung jawab bahwa ajaran Kristen menekankan kebebasan untuk memilih kehendak Allah (Galatia 5:1). Ramalan membangun determinisme kaku: “jika bintang mengatakan begini, maka aku tidak bisa melawan”. Akibatnya, orang tidak lagi bertanggung jawab atas perbuatannya, karena semuanya sudah “ditentukan” oleh ramalan.
4. Menghilangkan esensi doa dan kebergantungan karena doa Kristen adalah permohonan yang diucapkan dengan percaya kepada Bapa yang mendengar (Matius 6:9-13). Ramalan menggantikan doa dengan mantera atau kebiasaan pengejaran “hoki”—mencari jalan pintas, bukan ketergantungan pada Allah. Ini melemahkan hubungan pribadi dengan Allah, karena kebutuhan akan-Nya digantikan oleh formula ramalan.
5. Menghadirkan roh-roh yang tidak berasal dari Allah. Perhatikan teks di 1 Yohanes 4:1 yang memerintahkan umat untuk menguji setiap roh, karena tidak semua roh berasal dari Allah. Ramalan sering membuka pintu kepada roh-roh penipu (lihat Kisah Para Rasul 16:16-18, di mana roh ramalan diusir Paulus karena bukan dari Allah).
Ramalan merusak iman Kristen karena ia menggantikan kepercayaan kepada Allah yang hidup dengan kepercayaan kepada sistem deterministik yang tidak memiliki kuasa, memunculkan ketakutan dan harapan palsu, serta membuka pintu bagi kuasa spiritual yang menyesatkan. Ramalan membahayakan bukan hanya pikiran, tetapi juga roh manusia. Sering terjadi rentetan tindakan yang saling melengkapi dimulai dari ramalan akhirnya menjadi tindakan sihir. Tujuan awal dari suatu ramalan adalah mencari tahu masa depan tanpa bertanya kepada TUHAN (Imamat 19:26b, 31) contoh bertanya kepada arwah orang mati (1 Tawarikh 10:13-14) dan kemudian praktik sihir menjadi tujuan akhir agar dapat merubah, memengaruhi masa depan dengan mantra, jimat, atau ritual sehingga misalnya Saul meminta petunjuk dari arwah Samuel, melalui tukang tenung yang ternyata mempercepat kejatuhannya. Secara teologis, ramalan suatu perzinahan rohani karena berhubungan dengan roh selain Roh Kudus yang memiliki dampak hukum menurut Taurat adalah kematian (Imamat 20:6, 27).
Permasalahan yang dialami lainnya adalah praktik sinkretisme melahirkan penyimpangan teologi umat TUHAN. Bila memperhatikan dengan fokus sinkretisme—pencampuran ajaran Kristen dengan unsur agama, budaya, atau filsafat non-Kristen—tidak hanya merubah “bungkus” ibadah, melainkan menggeser fondasi teologi sampai pada titik di mana Injil menjadi tidak lagi terlihat. Setidaknya ada empat jalur utama bagaimana hal itu terjadi.
- Pengaburan keunikan wahyu: dari “Kristus satu-satunya” menjadi “salah satu dari banyak jalan”
- Contoh: Ajaran Universalisme yang tumbuh dari gerakan New Age menyamakan Yesus dengan Buddha, bahkan menyebut keduanya “peminta berkat bumi” bersama para makhluk bebas. - Dampak teologis: Doktrin salvific exclusivity (Kisah Para Rasul 4:12; Yohanes 14:6) dilebur; keselamatan bukan lagi anugerah melalui Kristus, melainkan hak kolektif semua agama. - Meminjam kuasa ritual non-Kristen: dari “Roh Kudus” menjadi “energi kosmis”
- Contoh: Dalam kebangunan Azusa Street awal abad ke-20, praktik spiritualisme Afrika (trance, jamahan transfer “urapan”) bercampur dengan ibadah Pentakosta.
- Dampak teologis: Dunamis (kuasa) Roh Kudus diganti konsep prana/qi; penyembuhan bukan tanda kerajaan Allah melainkan hasil “meditasi gelombang kesadaran”. - Mengganti doktrin dosa dan keselamatan: dari “kematian Kristus” menjadi “aktualisasi diri”
- Contoh: Aliran Kristen Progresif mendefinisikan dosa sebagai “tindakan yang merugikan diri sendiri” bukan pelanggaran hukum Allah; keselamatan dipahami sebagai proses pemulihan psiko-sosial tanpa penghukuman.
- Dampak teologis: Salib kehilangan substitusi-tebusan-nya; Injil berubah menjadi “program keadilan dan kesejahteraan”. - Mensakralisasi simbol pagan: dari “ibadah murni” menjadi “liturgi sinkretik”
- Contoh: Basilika kehakiman Romawi—lengkap dengan patung-patung berhala—dihadiahkan Konstantinus lalu dikonversi menjadi gereja; mezbah kurban pagan disulap jadi altar Kristen.
- Dampak teologis: Konsep ekklesia (umat terpanggil keluar) tereduksi menjadi civitas Dei berbasis negara; batas kudus–profan menjadi kabur.
Mekanisme penyimpangan akibat dari sinkretisme dapat dilihat dalam tabel di bawah ini
Tahapan | Proses Sinkretisme | Hasil Penyimpangan |
---|---|---|
Translasi | Menyamakan istilah Kristen dengan istilah non-Kristen | Doktrin menjadi ambigu |
Integrasi | Menyelipkan praktik non-Kristen ke dalam ibadah | Ibadah kehilangan arah teosentris |
Substitusi | Mengganti makna asli dengan makna baru | Injil lenyap diganti “injil budaya” |
Legitimasi | Mengklaim “kontekstualisasi” untuk menjustifikasi campuran | Otoritas Alkitab digoyahkan |
Dampak sinkretisme tidak hanya menambah hiasan budaya, tetapi menyuntikkan virus teologis yang secara bertahap menghancurkan tiang-tiang doktrin seperti:
- Monoteisme → politeisme tersembunyi
- Wahyu objektif → kebijaksanaan subjektif
- Salib → jalan pencerahan diri
* Karena itu, gereja mula-mula menolak keras setiap bentuk sinkretisme (Kisah Para Rasul 15:20; 1 Yohanes 4:1-3), dan para Reformator menegaskan kembali Sola Scriptura sebagai antidot utama
Hal lain yang merusak nilai di zaman Yesaya dan terasa hingga saat ini terjadinya proses perubahan sikap dari “Percaya kepada TUHAN” menjadi “Percaya kepada Kekuatan Manusia” atau dari teosentrisme ke antroposentrisme. Ketika ketidak-pasrahan kepada Allah diganti kepercayaan total pada sistem manusia, maka titik baliknya adalah bukan lagi “Tuhan, lakukanlah” melainkan “Kita bisa melakukannya”. Hal ini juga terjadi dalam kekristenan. Perubahan sikap orang Kristen—dari menaruh kepercayaan mutlak kepada Allah menjadi bergantung pada kekuatan, sistem, atau kebijakan manusia—bukan terjadi tiba-tiba, melainkan melalui lima tahap gradual yang saling memperkuat. Rangkaian prosesnya umumnya adalah:
- Degradasi Wahyu: dari “Firman TUHAN” menjadi “pendapat manusia”
- Gejala: Alkitab mulai dipandang sekadar sumber inspirasi moral—bukan otoritas final—sehingga tafsir pribadi, ilmu pengetahuan, atau konsensus budaya dijadikan standar tertinggi.
- Contoh: Pandemi Covid-19 memicu kalangan Kristen untuk lebih dulu mencari protokol WHO, data statistik, dan prediksi ahli epidemi sebagai dasar ketenangan, sementara doa dan puasa diposisikan sebagai “pelengkap”. - Kenaikan Harga diri: dari “hamba yang rentan” menjadi “manusia mandiri”
- Gejala: Kesuksesan teknologi, finansial, dan medis membuat keyakinan bahwa masalah hidup bisa dipecahkan manusia tanpa campur tangan ilahi.
- Contoh: Dalam diskursus Kristen progresif, keselamatan sering dikaitkan dengan akses kesehatan universal, keadilan sosial, dan pendidikan, bukan hanya karya Kristus. Hasilnya, kepercayaan bergeser dari “Tuhan yang menyembuhkan” kepada “sistem kesehatan yang menjamin”. - Krisis Kepercayaan: dari “Allah yang berdaulat” menjadi “manusia yang berkuasa”
- Gejala: Ketika gereja gagal, pemimpin rohani jatuh, atau doa “tidak terjawab”, muncul kekecewaan yang menjustifikasi pengalihan harapan pada institusi sekuler.
- Contoh: Skandal moral para pendeta memicu umat memilih psikolog, konselor lifestyle, bahkan astrolog sebagai “pengganti imam”. - Bahasa Baru: dari “iman” menjadi “optimisme”
- Gejala: Frasa “Allah akan membantu” diganti “kita bisa melakukannya bersama”.
- Contoh: Dalam konteks pandemi, jargon Kristen berubah dari “Tuhan menutup pintu, Ia akan membuka jendela” menjadi “vaksin, masker, dan solidaritas adalah jawaban”. Roh Kudus digantikan semangat kolektif kemanusiaan. - Legitimasi Teologis: sinkretisme disamarkan sebagai “kontekstualisasi”
- Gejala: Alkitab dipakai hanya untuk membenarkan agenda manusia, bukan menundukkan diri pada kehendak-Nya.
- Contoh: Beberapa teolog menggunakan Roma 13 untuk membenarkan kepatuhan mutlak pada negara, lalu melupakan kewajiban bertindak seperti Petrus: “Patuhilah Allah lebih dari pada manusia” (Kisah Para Rasul 5:29).
Proses perubahan sikap sehingga berfokus kepada kekuatan manusia mengalami percepatan. Faktor yang menjadi percepatan proses perubahan yaitu:
Faktor | Cara Kerja | Contoh Konkret |
---|---|---|
Mediasi Teknologi | Aplikasi ramalan, self-help AI, dan mindfulness app menjadi “teman doa” digital | Orang Kristen menggantikan waktu teduh dengan meditasi non-theistik |
Market Spiritualitas | Gereja menjual program “3 langkah sukses” berbasis psikologi populer | Khotbah lebih motivator ulung ketimbang penyerahan pada kuasa Allah |
Ketidak-puasan Eksistensial | Ketika doa terasa “kosong”, solusi instan (terapi, investasi, politik) terasa lebih nyata | Khotbah tentang “Allah yang memelihara” diganti “strategi finansial Kristen” |
Sejumlah contoh "Antidot Alkitabiah" agar tetap beriman dan setia kepada TUHAN diantaranya:
⦔ Pertobatan intelektual → “Jangan sama dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan akal budimu” (Roma 12:2).
⦔ Pengingkaran diri, bukan aktualisasi diri → “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya akan kehilangannya” (Mr 8:35).
⦔ Doa sebagai pergumulan, bukan mantera → “Bukan seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah” (1Tes 4:5).
Zaman Yesaya mengalami perjumpaan identitas spiritual dengan non-umat Allah Elohim. Wicca, Heathenry, menyebut mereka dengan istilah pagan. Saat ini gereja-gereja arus utama kini lebih menekankan dialog dan sikap inklusif terhadap gerakan Neo-Paganisme sekalipun ada catatan sejarah tentang pengaruh pagan di zaman Yesaya. Kiranya Roh Kebijaksanaan dalam berkontekstualisasi yang dipimpin oleh Roh Kudus tidak mengulang hal tragis sehingga gunung Sion ditinggalkan / dibuang oleh TUHAN melainkan dapat menyeberangkan pesan ALLAH kepada kelompok pagan sehingga bumi penuh pengenalan akan TUHAN seperti air menutupi lautan.
- Tulisan lainnya di werua blog:
- Waspada Terhadap Berhala
- Pilih Kristus Seutuhnya
- Kuasa Kegelapan Dan Pelepasannya
- Kurang Pengetahuan Menjadi Binasa
- Pesan Untuk Jemaat Tiatira
- Orang Kafir Berdasarkan Alkitab
- Kehidupan Kristen Yang Berakhir di Neraka
- Kebenaran Objektif Alkitab
- Ajaran TUHAN Atau Ajaran Manusia
- Mendapatkan Pengertian Yang Benar