Ayat di atas menyamakan keserakahan dengan penyembahan berhala. Keserakahan berasal dari kata πλεονεξίαν - pleonexian yaitu keinginan yang tak terpuaskan untuk memiliki lebih banyak — bukan hanya uang, tetapi juga kekuasaan, kehormatan, kepuasan pribadi, atau barang-barang duniawi sehingga dapat bersenang-senang tanpa mempedulikan konsekuensi moral dan berimplikasi kegiatan penipuan dan pemerasan. Kitab Suci memperlakukannya bukan sebagai kesalahan kecil, melainkan sebagai dosa mendasar yang menyaingi ibadah kepada Allah. Ini adalah keinginan yang mengutamakan diri sendiri di atas segalanya.
Penyembahan berhala memiliki signifikasi Teologis, yaitu:
1. Ibadah Eksklusif: Penyembahan berhala melanggar nilai dan kemuliaan Allah yang unik ( Yesaya 42:8 ).
2. Gambar dan Transformasi: Para penyembah menyerupai apa yang mereka hormati ( Mazmur 115:8 ). Oleh karena itu, penyembahan berhala merusak gambar Allah dalam diri manusia, sedangkan ibadah sejati menjadikan orang percaya serupa dengan Kristus ( Roma 8:29 ).
3. Kesetiaan Perjanjian: Kedua Perjanjian menggambarkan penyembahan berhala sebagai pengkhianatan perjanjian. Gereja, sebagai mempelai Kristus, harus tetap murni dari ketidaksetiaan rohani ( 2 Korintus 11:2-3 ).
Keserakahan sejajar dengan penyembahan berhala "εἰδωλολατρία - eidōlolatria " Penyembahan berhala mengacu pada penghormatan, kepercayaan, atau pelayanan yang diberikan kepada apa pun atau siapa pun selain Allah yang benar yang diwahyukan dalam Kitab Suci. Meskipun diekspresikan secara lahiriah melalui patung, tempat suci, atau ritual, Kitab Suci menyingkapkan penyembahan berhala terutama sebagai kasih sayang hati yang salah tempat ( Yehezkiel 14:3 ), yang terwujud setiap kali suatu ciptaan ditinggikan ke tempat Allah. Apa pun yang kita letakkan di atas Allah — itulah berhala kita.
Mengapa Keserakahan = Penyembahan Berhala? Karena keserakahan menempatkan sesuatu di atas Allah. Orang yang serakah mengutamakan harta, kekayaan, atau kepuasan duniawi sebagai sumber kebahagiaan, keamanan, dan makna hidup. Ia mengandalkan uang, bukan Tuhan — mencari keamanan dalam tabungan, bukan dalam janji Tuhan. Ia rela berbohong, menipu, atau mengorbankan orang lain demi mendapatkan lebih — ini adalah bentuk penyembahan terhadap "dewa kekayaan". "Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Matius 6:24). Mamon = kekayaan / harta. Jadi, keserakahan adalah penyembahan terhadap "Mamon" — sebuah berhala modern.
Sejumlah teks Perjanjian Baru yang menggambarkan keserakahan sebagai penyembahan berhala yang memiliki kekuatan yang mendominasi kehidupan dan menggantikan Tuhan seperti terdapat dalam:
• Roma 1:29 mencantumkannya di antara bukti-bukti pikiran yang telah menolak wahyu ilahi.
• Efesus 4:19 menggambarkan dunia non-Yahudi sebagai "menyerahkan diri mereka kepada hawa nafsu untuk melakukan segala macam kenajisan, dengan keinginan yang terus-menerus untuk lebih banyak lagi," yang menunjukkan spiral yang tak terpuaskan.
• Efesus 5:3 menegaskan bahwa di antara orang percaya "tidak boleh ada sedikit pun ... keserakahan."
• Kolose 3:5 melabeli keserakahan sebagai "penyembahan berhala," karena itu mentransfer kepercayaan dan kasih sayang tertinggi dari Sang Pencipta kepada makhluk ciptaan.
• Dalam 2 Korintus 9:5 Paulus membedakan kemurahan hati sejati dari kontribusi apa pun yang diminta "sebagai orang yang memberi dengan enggan," melindungi baik pemberi maupun penerima dari noda motif tamak.
• 1 Tesalonika 2:5 mengingatkan gereja bahwa pelayanan kerasulan tidak pernah menjadi “dalih untuk keserakahan,” dan menetapkan integritas finansial sebagai syarat mutlak bagi para pekerja Injil.
Keserakahan adalah bentuk pemberontakan terhadap kedaulatan Allah. Allah adalah Pemilik segalanya (Mazmur 24:1). Kita hanya pengelola. Orang yang serakah bertindak seolah-olah mereka adalah tuan atas hidup dan harta mereka sendiri, bukan hamba Allah. Ini adalah dosa hati yang menggantikan Allah dengan sesuatu yang diciptakan — persis seperti penyembahan berhala (Rom 1:25). "Mereka menukar kebenaran Allah dengan dusta, dan memuja dan menyembah makhluk lebih daripada Penciptanya." (Roma 1:25)
Keserakahan menghancurkan hubungan dengan Allah dan sesama. Penyembahan berhala memisahkan manusia dari Allah. Keserakahan memisahkan manusia dari sesama (karena egois), dan dari Tuhan (karena tidak percaya pada penyediaan-Nya). Jika jatuh ke dalam keserakahan maka mudah tergelincir kepada praktik penipuan dan pemerasan. Keserakahan dan penyembahan berhala keduanya adalah bentuk pemberontakan spiritual.
berdasarkan "Perspektif Teologis" maka keserakahan sebagai "Berhala Tersembunyi". Dalam budaya modern, berhala tidak selalu berupa patung. Banyak orang menyembah: "Uang, karier, popularitas, seks, kontrol, kenyamanan." Keserakahan adalah jantung dari semua bentuk berhala ini. Ia membuat seseorang terus-menerus mencari sesuatu yang tidak pernah bisa memuaskan — karena hanya Allah yang bisa memenuhi hati manusia. Ingatlah "Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Matius 6:21). Keserakahan menempatkan harta, keinginan, atau kepuasan duniawi di atas Allah — menjadikannya "tuhan" pribadi sedangkan esensi penyembahan berhala: memberikan tempat tertinggi dalam hati kepada sesuatu selain Tuhan.
Keserakahan bukan hanya dosa moral — itu adalah dosa ibadah. Ia menggantikan Tuhan. Renungkan jika kamu menghabiskan waktu, energi, dan kecemasan terbesarmu untuk mendapatkan lebih — mungkin kamu sedang menyembah berhala. Tuhan bukan sekadar bagian dari hidupmu — Dia harus menjadi satu-satunya tuhanmu. Keserakahan adalah penyembahan berhala — karena ia berkata: “Aku tidak butuh Tuhan untuk memuaskan hidupku.” Dan itulah dosa paling dasar: mengganti Pencipta dengan ciptaan. Paulus menulis ini dalam konteks kehidupan baru di dalam Kristus (Kolose 3:1-4). Ia mengingatkan jemaat: "Kamu sudah mati bersama Kristus terhadap dunia — maka matikanlah hal-hal duniawi, termasuk keserakahan!"
Ada seruan dalam firman-Nya, matikanlah hal-hal duniawi termasuk keserakahan! Hal ini sebagai sinyal bahwa sebagai orang percaya dan juga gereja TUHAN harus waspada terhadap praktik penyembahan berhala modern yaitu keserakahan. Meskipun gereja adalah komunitas yang dipanggil untuk hidup dalam kasih, kebenaran, dan ketergantungan pada Tuhan, keserakahan tetap bisa merasuk ke dalamnya — bahkan dalam bentuk yang halus, tersembunyi, dan sering kali tidak disadari.
Ruang lingkup keserakahan dalam gereja tidak terbatas pada pencurian uang atau korupsi, tetapi meluas ke berbagai aspek kehidupan rohani, struktural, dan relasional. Keserakahan dalam gereja, dikelompokkan secara sistematis berdasarkan dimensi kehidupan gereja meliputi:
- Keserakahan terhadap Uang dan Harta (Material) sebagai bentuk yang paling jelas, tetapi juga yang paling berbahaya karena sering dibungkus dengan “pelayanan” atau “pembangunan gereja”. Contoh:
- Menuntut persembahan berlebihan dengan ancaman kutukan atau janji kekayaan (“beri 10%, nanti Tuhan beri 100%”) — ini adalah injil kekayaan (prosperity gospel) yang menyesatkan.
- Pengelolaan dana yang tidak transparan: uang persembahan digunakan untuk gaya hidup mewah pemimpin (mobil mewah, rumah mewah, liburan mewah) tanpa pertanggungjawaban.
- Menggunakan gereja sebagai alat bisnis: menjual “berkat”, “minyak urapan”, “kitab suci ajaib”, atau mengadakan acara “pengusiran roh jahat” dengan bayaran tinggi.
- Mengutamakan gedung megah daripada pelayanan kepada orang miskin, yatim piatu, atau misi luar negeri. “Orang-orang yang suka menjadi yang terkemuka dan yang suka diberi salam di pasar, dan suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di perjamuan.” — Markus 12:38–39 - Keserakahan terhadap Kuasa dan Pengaruh (Kekuasaan). Keserakahan bukan hanya soal uang — tapi juga soal kontrol, otoritas, dan pengakuan. Misal:
- Memegang jabatan terlalu lama, menolak transfer atau pergantian pemimpin demi mempertahankan kekuasaan.
- Menyebarkan fitnah atau mengintimidasi orang yang menantang otoritas, agar tidak ada yang “menyaingi”.
- Menggunakan posisi pelayanan untuk mendapatkan keuntungan pribadi: misalnya, memanfaatkan hubungan dengan jemaat untuk kepentingan bisnis, politik, atau sosial.
- Menganggap diri sebagai “wakil Tuhan” yang tidak bisa dikritik — menolak akuntabilitas, padahal Alkitab mengajarkan semua pemimpin harus bertanggung jawab (Ibrani 13:17). “Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang menguasai bangsa-bangsa… Tetapi barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” — Markus 10:42–43 - Keserakahan terhadap Pengakuan dan Kemuliaan Diri (Prestise). Keserakahan akan diakui, dipuji, dan dianggap “hebat”. Misal:
- Mengajarkan firman Tuhan bukan untuk memuliakan Allah, tapi untuk membangun nama pribadi — misalnya, mempromosikan diri sebagai “guru besar”, “nabi”, atau “orang suci”.
- Mengandalkan jumlah jemaat, media sosial, atau jumlah pengikut sebagai ukuran keberhasilan pelayanan, bukan kesetiaan pada kebenaran.
- Menghindari pelayanan tersembunyi (seperti merawat orang sakit, mengunjungi janda, atau mendisiplinkan anak-anak) karena tidak terlihat.
- Menggunakan pelayanan sebagai jalan untuk mendapatkan penghargaan, gelar, atau popularitas — bukan karena kasih. “Celakalah kamu, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik! Sebab kamu sama seperti kubur yang dilapisi dengan kapur: di luar memang tampak indah, tetapi di dalamnya penuh tulang belulang dan segala kecemaran.” — Matius 23:27 - Keserakahan terhadap Waktu, Perhatian, dan Kepatuhan Jemaat. Pemimpin atau kelompok tertentu bisa menjadi “pemaksa” kehendak, bukan pelayan. Contoh:
- Menuntut kehadiran 100% dari jemaat, bahkan di luar kemampuan mereka, sebagai ukuran “kesetiaan”.
- Menggunakan rasa bersalah atau takut akan kutukan untuk mengontrol perilaku jemaat.
- Mengambil alih waktu pribadi jemaat — misalnya, meminta jemaat bekerja gratis untuk gereja, padahal mereka sedang menghadapi krisis keluarga.
- Mengabaikan kebutuhan jemaat yang lemah demi memenuhi agenda “besar” yang menguntungkan pemimpin. “Janganlah kamu menindas janda-janda dan anak-anak yatim... Janganlah kamu menindas orang asing, orang miskin, dan orang yang tertindas.” — Zakharia 7:9–10 - Keserakahan terhadap “Kebenaran” dan Doktrin (Spiritual). Keserakahan bisa juga berwajah teologis: mengubah kebenaran menjadi alat keuntungan. Contoh:
- Mengajarkan ajaran yang “disukai jemaat” — misalnya, menekankan kesuksesan, kesembuhan, dan kekayaan, sementara mengabaikan salib, penyangkalan diri, dan penderitaan.
- Menolak koreksi atau pembaharuan doktrin karena takut kehilangan pengikut atau pendapatan.
- Menggunakan Alkitab secara selektif untuk mendukung agenda pribadi atau kelompok — seperti memilih ayat yang mendukung kepemimpinan absolut, tetapi mengabaikan ayat tentang kerendahan hati dan pelayanan. “Sebab akan datang waktunya, orang tidak akan tahan mendengar ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut keinginan hatinya dan akan memalingkan telinganya dari kebenaran.” — 2 Timotius 4:3–4 - Keserakahan terhadap “Kepemilikan” Gereja. Gereja bukan milik pemimpin, tapi milik Kristus. Contoh:
- Menganggap gereja sebagai “milik pribadi” — misalnya, “Gereja saya”, “Jemaat saya”, “Gereja yang saya dirikan”.
- Menolak bergabung dengan gereja lain atau kerja sama pelayanan karena takut kehilangan “kekuasaan” atau “pengaruh”.
- Menolak transparansi dan akuntabilitas dari badan pengawas atau sinode karena ingin “mandiri” — padahal Alkitab mengajarkan tubuh Kristus yang saling bergantung (1 Korintus 12). “Kamu bukan milikmu sendiri, sebab kamu telah dibeli dengan harga.” — 1 Korintus 6:19–20 - Mulai dari “Kebutuhan Praktis” — Kompromi Pertama.
- “Kita butuh uang untuk membangun gedung, membiayai misi, membayar gaji pendeta…” Gereja menghadapi tekanan finansial: biaya operasional naik, jemaat berkurang, atau kebutuhan infrastruktur mendesak.
- Pemimpin mulai mengatakan: “Kita harus lebih ‘profesional’ — seperti bisnis.”
- Kompromi pertama: Mengubah “persembahan sukarela” menjadi “target persembahan wajib”, atau menetapkan “kuota persembahan mingguan”.
- Dampak: Persembahan berubah dari ekspresi syukur menjadi kewajiban moral. “Janganlah kamu mengasihi uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” — Ibrani 13:5 - Mengganti Tujuan: Dari “Memuliakan Allah” ke “Mempertahankan Institusi”. “Kita harus bertahan — kalau tidak, gereja ini akan tutup.” sehingga fokus pelayanan bergeser dari membawa orang kepada Kristus → menjadi menjaga gedung, jumlah jemaat, dan anggaran. Misal:
- Kepemimpinan mulai mengukur keberhasilan dengan: "Jumlah uang masuk, jumlah orang hadir, jumlah pengikut media sosial, ukuran gedung
- Kesalahan teologis: Menganggap pertumbuhan kuantitatif = pertumbuhan rohani. - Alkitab berkata: “Tetapi apabila kamu melihat banyak orang datang kepada kamu, janganlah kamu percaya, sebab banyak nabi palsu akan datang kepadamu.” — Matius 7:15 - Memperkenalkan “Injil Keberhasilan” (Prosperity Gospel). “Kalau kamu beri 10%, Tuhan akan beri 100%. Kalau kamu percaya, kamu akan kaya!” Pemimpin mulai mengajarkan bahwa keuangan adalah tanda berkat Tuhan, dan kemiskinan = tanda kurang iman. Contoh:
- Ayat-ayat Alkitab diambil secara keliru (misalnya Maleakhi 3:10, 2 Korintus 9:6) untuk mengeksploitasi harapan jemaat.
- Jemaat yang lemah secara ekonomi menjadi korban teologis — merasa bersalah karena tidak kaya, padahal mereka setia. - Alkitab berkata: “Orang-orang yang suka menjadi yang terkemuka dan yang suka diberi salam di pasar... mereka memakan rumah janda-janda.” — Markus 12:38–40 - Membentuk Kultur “Pemimpin Superstar”. “Kita butuh pemimpin yang karismatik, yang bisa menarik orang.” Misalnya:
- Pemimpin mulai dipandang sebagai “wakil Tuhan” yang tidak boleh dikritik. Kritik terhadap pemimpin = “menolak urapan Tuhan”.
- Gereja menjadi pribadi yang dipersonifikasikan: “Gereja Pak X”, “Gereja Bu Y”.
- Pemimpin hidup mewah — mobil mewah, rumah besar, liburan ke luar negeri — dan dijustifikasi sebagai “berkat Tuhan”.
- Alkitab berkata: “Celakalah kamu, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik! Sebab kamu sama seperti kubur yang dilapisi dengan kapur.” — Matius 23:27 - Menutup Mata terhadap Ketidakadilan dan Ketidaktransparanan. Misalnya:
- “Jangan ribut, itu urusan Tuhan. Kita fokus pada pelayanan.”
- Keuangan tidak diaudit, laporan tidak diberikan.
- Dana persembahan dipakai untuk kepentingan pribadi pemimpin atau keluarganya.
- Jemaat yang protes dianggap “rohani lemah”, “tidak percaya”, atau “dikuasai iblis”.
- Ketidakadilan diam-diam dibenarkan demi “stabilitas” dan “kesatuan”.
- Alkitab berkata: “Dosa yang tersembunyi akan membinasakan.” — Amsal 28:13 - Mengganti Firman Tuhan dengan “Strategi Pemasaran” seperti “Kita harus membuat kebaktian yang ‘kekinian’, biar jemaat betah.” Contoh:
- Khotbah tidak lagi berfokus pada pertobatan, salib, dan kekudusan — tapi pada motivasi, keberhasilan, dan kebahagiaan instan.
- Musik ibadah berubah jadi konser, dengan lampu, efek visual, dan “pengalaman emosional” sebagai tujuan utama.
- Alkitab dipakai sebagai buku motivasi, bukan firman yang menghakimi.
- Alkitab berkata: “Akan datang waktunya, orang tidak akan tahan mendengar ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut keinginan hatinya.” — 2 Timotius 4:3 - Menolak Akuntabilitas dan Kepemimpinan Bersama. Misalnya “Kami sudah berpengalaman. Kita tidak butuh pengawasan dari luar.” Contohnya:
- Gereja menolak struktur sinode, konsili, atau pengawasan dari gereja lain.
- Tidak ada struktur pengawasan keuangan, tidak ada dewan penasihat, tidak ada mekanisme pengaduan.
- Pemimpin tunggal menjadi raja tanpa batas — karena “dipilih Tuhan”.
- Keserakahan menjadi sistemik: bukan lagi kesalahan individu, tapi budaya organisasi.
- Alkitab berkata: “Janganlah kamu menolak orang yang menegur kamu; sebab siapa yang Tuhan kasihi, ia disiplin oleh-Nya.” — Ibrani 12:6 - Menjadikan Gereja sebagai “Aset Pribadi” atau “Warisan Keluarga” Misalnya “Gereja ini didirikan oleh ayahku. Aku yang meneruskannya.” Contoh:
- Gereja diwariskan seperti perusahaan keluarga.
- Anak-anak pemimpin diangkat otomatis sebagai pengganti, meski tidak memenuhi syarat rohani (1 Timotius 3).
- Keputusan diambil berdasarkan kepentingan keluarga, bukan kepentingan tubuh Kristus.
- Jemaat yang tidak sejalan dianggap “musuh”, bukan saudara.
- Alkitab berkata: “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” — Matius 6:24 - Dampak Terhadap Jemaat: Kerusakan Spiritual dan Trauma Iman, seperti:
- Kehilangan kepercayaan pada Tuhan. Jemaat diajarkan: “Berilah, maka Tuhan akan memberimu kembali.” → Tapi ketika mereka beri, tidak ada yang datang, atau pemimpin malah kaya, mereka berpikir: “Tuhan tidak setia.” → Iman mereka hancur.
- Kesadaran dosa yang keliru. Orang miskin merasa bersalah: “Aku tidak cukup percaya, maka Tuhan tidak memberkati aku.” Orang kaya merasa lebih rohani: “Aku kaya karena aku lebih beriman.” → Injil menjadi alat penindasan, bukan pembebasan.
- Trauma rohani dan penolakan terhadap gereja. Banyak orang meninggalkan gereja bukan karena tidak percaya Tuhan, tapi karena dikhianati oleh pemimpin gereja. Mereka berkata: “Aku tidak bisa percaya pada Tuhan, karena gereja telah menipuku.”
* Firman-Nya: “Celakalah dunia karena segala hal yang menyesatkan! Memang harus ada hal-hal yang menyesatkan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.” — Matius 18:7. - Dampak Terhadap Pemimpin: Kehilangan Otoritas dan Karakter, seperti:
- Pemimpin menjadi “nabi palsu” Mereka berbicara atas nama Tuhan, tapi hidup demi kepentingan pribadi. Mereka menyebut “urapan”, “penglihatan”, “firman Tuhan” — padahal itu hanya strategi manipulasi.
- Kehilangan integritas dan kehormatan. Pemimpin yang serakah kehilangan kredibilitas moral. Ketika terungkap skandal (korupsi, pelecehan, gaya hidup mewah), nama Tuhan dipermalukan.
- Kepemimpinan menjadi tirani. Kritik dianggap dosa. Pemimpin menjadi “tuhan” di gereja. Jemaat hidup dalam ketakutan, bukan dalam kebebasan di dalam Kristus.
* Firman-Nya: “Karena kamu, nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa, seperti yang telah tertulis.” — Roma 2:24. - Dampak Terhadap Kehidupan Gereja: Kehilangan Identitas Sejati, seperti:
- Gereja berubah jadi perusahaan dengan indikator: Ukuran keberhasilan = jumlah uang, jumlah jemaat, jumlah media sosial dan Ibadah jadi pertunjukan, khotbah jadi motivasi bisnis, doa jadi “trik spiritual” sehingga Gereja kehilangan jiwanya sebagai tubuh Kristus — menjadi organisasi yang mencari keuntungan.
- Pelayanan menjadi komoditas, misal: "Pengusiran roh jahat → bayar Rp 5 juta, Doa penyembuhan → beli “minyak urapan” Rp 200 ribu atau “Berkat keluarga” → ikut seminar Rp 10 juta" → Injil dijual, Tuhan dijadikan produk.
- Pemuridan hilang karena tidak ada pembinaan rohani mendalam. Tidak ada pengajaran tentang penyangkalan diri, salib, dan kekudusan. Jemaat hanya diajarkan: “Dapatkan berkat!” — bukan “Ikutlah Aku!”
* Firman-Nya: “Kamu menjadikan rumah doa menjadi sarang penyamun.” — Matius 21:13 - Dampak Terhadap Kesaksian Injil di Dunia: Kerusakan Etis dan Sosial, seperti:
- Menghancurkan reputasi Kristen di mata dunia. Dunia melihat gereja sebagai: "Kelompok yang kaya tapi tidak peduli pada kemiskinan, pemimpin yang menipu demi uang, komunitas yang menolak keadilan, tapi menuntut keuntungan, mereka berkata: “Kalau Tuhanmu membiarkan pemimpin-Nya korup, apa bedanya Tuhanmu dengan berhala?”"
- Menghalangi orang datang kepada Kristus. Banyak orang menolak Kristus karena mereka melihat gereja yang tidak kudus. Orang non-Kristen berkata: "Aku tidak butuh Tuhan yang diperjualbelikan, Aku tidak percaya pada agama yang hanya menguntungkan pemimpinnya.”
- Memperkuat stereotip negatif terhadap agama. Gereja serakah menjadi alasan bagi ateis, agnostik, dan kritikus untuk mengatakan: “Agama hanya alat kekuasaan dan keuntungan.” → Ini adalah kerugian strategis bagi Kerajaan Allah.
* Firman-Nya: “Dengan demikian kamu menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” — Kisah Para Rasul 1:8 → Tapi jika gereja serakah, kesaksian itu menjadi palsu. - Dampak Teologis: Penyimpangan Ajaran dan Pengkhianatan terhadap Injil, seperti:
- Injil diubah menjadi “Injil Keberhasilan” Dari “Kamu harus menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Aku” → Menjadi “Kamu harus percaya, beri, dan kamu akan kaya.” Injil sejati yang menyerukan pertobatan dan salib, diganti dengan “injil kekayaan” yang menjanjikan kenyamanan.
- Firman Tuhan dipotong-potong. Ayat tentang kemiskinan, kerendahan hati, dan penghakiman diabaikan. Ayat tentang berkat dan kekayaan dijadikan dasar utama. → Alkitab tidak lagi menjadi otoritas — tapi alat propaganda.
- Keselamatan menjadi transaksi, bukan anugerah. Keselamatan dijual: “Berikan 10%, maka kamu diselamatkan.” Padahal: “Karena oleh kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman... bukan dari perbuatan.” — Efesus 2:8–9 → Injil menjadi “sistem ekonomi spiritual”, bukan kasih yang membebaskan.
* Firman-Nya: Mengakibatkan orang tidak mengerti tentang perkataan Yesus dan pesan Injil sehingga tidak tinggal dalam kebenaran — 1 Timotius 6:3–5 - Dampak Ekumenis dan Sosial: Gereja Tidak Lagi Menjadi “Rumah Bagi Yang Lemah”, seperti:
- Orang miskin, yatim, janda, dan terpinggirkan diabaikan. Gereja yang serakah lebih memilih membangun gedung megah daripada membeli makanan untuk anak yatim. Dana misi dialihkan untuk gaji pemimpin.
- Tidak ada suara untuk keadilan sosial. Gereja diam ketika ada korupsi, penindasan, perbudakan modern, atau ketidakadilan karena keadilan tidak menghasilkan uang. → Gereja menjadi saksi diam atas kejahatan dunia.
* Firman-Nya: “Sesungguhnya, Aku berkata kepadamu: Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan juga untuk Aku.” — Matius 25:40 - Dampak Kekal: Penghakiman Ilahi, seperti:
- Gereja bisa dihakimi oleh Tuhan sendiri. Yesus menghakimi gereja yang telah menjadi “lukisan yang indah di luar, tapi penuh tulang belulang di dalam”: “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Sekiranya engkau dingin atau panas, mungkin engkau lebih baik. Tetapi karena engkau hangat-hangat kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.” — Wahyu 3:15–16. Gereja yang serakah adalah gereja yang hangat-hangat kuku — tidak cukup panas untuk membara dengan kasih, tidak cukup dingin untuk jujur mengaku tidak percaya. → Tuhan lebih suka yang jujur, daripada yang munafik.
- Pemimpin yang serakah akan dihakimi lebih berat. “Barangsiapa diberi banyak, daripadanya akan dituntut banyak.” — Lukas 12:48. Pemimpin yang menyesatkan jemaat, menjual firman, dan memanfaatkan kepercayaan — akan menghadapi penghakiman yang lebih berat. “Celakalah kamu, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik! Sebab kamu seperti kubur yang dilapisi dengan kapur: di luar memang tampak indah, tetapi di dalamnya penuh tulang belulang dan segala kecemaran.” — Matius 23:27 - Tulisan lainnya di werua.blogspot:
- Nasihat Terhadap Ketamakan Kekayaan
- Perjuangan Atasi Ketamakan Dan Perhambaan Uang
- Sistem Sosialisme Dan Kehidupan Jemaat Mula-mula
- Mengarungi Era Gig Ekonomi
- Tinjauan Perbuatan Perampasan Dalam Alkitab
- Nasihat Alkitab Terhadap Korupsi
- Menyimpan Dan Memiliki Harta di Surga
- Orang Kikir Dan Permasalahannya
- Pengaruh Mata terhadap Tindakan
- Mengenal Orang Toksik
Keserakahan dalam gereja suatu bahaya yang mengancam keberadaan suatu gereja. Proses terjadinya keserakahan dalam gereja biasanya terjadi secara perlahan, sistematis, dan sering tanpa disadari. Gereja — yang seharusnya menjadi terang dan garam dunia — bisa terjebak dalam keserakahan bukan karena tiba-tiba jahat, tapi karena kompromi bertahap, kegagalan spiritual, dan kehilangan identitas asli sebagai tubuh Kristus.
Kelaziman/kebiasaan bagaimana gereja masuk ke dalam keserakahan, yaitu: (Dari yang halus hingga yang mematikan)
Bila terjadi keserakahan dalam gereja maka bukan sekadar menjadi “gereja jadi tidak baik” — tapi dampaknya bersifat rohani, sosial, teologis, dan etis secara luas, bahkan merusak kesaksian Injil di mata dunia. Gereja yang jatuh ke dalam keserakahan bukan hanya gagal dalam pelayanan — ia menjadi alat penyesatan, penghancur iman, dan penghalang jalan kepada Kristus. Dampak yang terjadi secara nyata dan berlapis jika gereja jatuh ke dalam keserakahan, diurutkan dari yang paling pribadi hingga yang paling global:
Tanda-tanda Gereja sudah terjebak dalam keserakahan adalah:
- Jemaat merasa takut, bukan aman di gereja.
- Pemimpin lebih sering bicara tentang uang, jumlah, dan prestasi, daripada kasih, pengampunan, dan salib.
- Tidak ada ruang untuk kritik, pertanyaan, atau perbedaan pendapat.
- Jemaat miskin dipandang rendah, bukan dilayani.
- Khotbah tidak menghakimi dosa — tapi memuji keberhasilan duniawi.
- Gereja tidak peduli pada keadilan sosial, kemiskinan, atau penindasan — karena itu “tidak menghasilkan uang”.
Bila keserakahan yang identik dengan penyembahan berhala ada dalam gereja maka harus bertobat dan kembali ke akar dari gereja yang hidup. Akar gereja adalah seperti:
1. Kristus sebagai Kepala. Semua keputusan diukur: “Apakah ini memuliakan Kristus?”
2. Firman sebagai Otoritas Tertinggi. Tidak ada ajaran yang bertentangan dengan seluruh Alkitab.
3. Kepemimpinan yang Melayani. Pemimpin adalah hamba, bukan tuan (Markus 10:43–44).
4. Transparansi dan Akuntabilitas. Laporan keuangan, audit, dewan penasihat, dan ruang untuk kritik.
Gereja menjadi berhala jika kita lupa siapa pemiliknya. Ingatlah:
- Gereja bukan bangunan.
- Gereja bukan organisasi.
- Gereja bukan merek.
- Gereja adalah pengantin Kristus yang dipanggil untuk mencerminkan kasih-Nya, bukan keinginannya sendiri.
Matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala. Waspada agar umat TUHAN dan gereja TUHAN tidak menjadi serakah. Gereja yang sejati tidak membutuhkan banyak uang untuk membuktikan keberadaannya — cukup satu hati yang tulus, satu jiwa yang bertobat, dan satu kasih yang tidak pernah berhenti.
Tapi jika ia bangkit dari keserakahan — ia menemukan kembali Roh-Nya.
Dan itulah yang disebut kebangkitan sejati.